Porospro.com - Kejar pertumbuhan bisnisnya, PT Mitrabara Adiperdana Tbk (MBAP) menganggarkan belanja modal dan investasi tahun ini sebesar US$ 57,84 juta atau naik signifikan dibandingkan tahun lalu US$11,50 juta. Informasi tersebut disampaikan perseroan dalam siaran persnya di Jakarta, kemarin.
Direktur Utama Mitrabara Adiperdana, Khoirudin mengatakan, sekitar 49% dialokasikan untuk bangunan dan prasarana anak perusahaan dan sekitar 25% untuk investasi di ventura bersama.
"Ini sejalan dengan komitmen kami untuk mendukung pengembangan dari anak-anak usaha perusahaan, yang pada akhirnya akan berkontribusi signifikan pada kinerja perusahaan secara keseluruhan,”ujarnya.
Selain itu, perseroan terus mengembangkan bisnis anak-anak perusahaan demi memperkuat eksistensi perusahaan dan mendorong pertumbuhan kinerja di masa mendatang.
Strategi ini ditempuh mengingat batubara merupakan komoditas dengan cadangan yang terbatas. Selain itu, Mintrabara ingin menangkap peluang dari tren permintaan energi baru dan terbarukan ke depan yang semakin besar serta bisnis lainnya.
“Sesuai dengan roadmap empat pilar bisnis Mitrabara, kami masih mempertahankan pilar bisnis utama kami di sektor tambang, khususnya batubara. Namun Perseroan juga terus mencari ppotensi tambang lainnya seperti mineral, andesit, maupun jenis tambang lainnya.“ papar Khoirudin.
Di samping itu, sambung Khoirudin, Mitrabara juga sangat serius mengembangkan bisnis-bisnis baru melalui anak-anak usahanya, yaitu di sektor energi baru terbarukan, sektor industri agro, serta sektor infrastruktur dan jasa,” papar Khoirudin.
Di sektor energi baru terbarukan, Mitrabara masuk ke bisnis pembangkit listrik tenaga surya dan biomassa. PT Masdar Mitra Solar Radiance (MMSR), anak usaha Mitrabara di bidang energi surya, telah mengoperasikan panel surya dengan kapasitas 1,75 MWp pada tahun 2023 dan akan terus ditingkatkan setiap tahunnya.
Dalam jangka waktu 5 (lima) tahun kedepan, MMSR menargetkan untuk mengoperasikan 200 MWp dengan target finalisasi kontrak sebesar 195 MWp.
Adapun, PT Malinau Hijau Lestari (MHL) yang bergerak di bidang produksi wood pellet diharapkan mampu menjadi salah satu pemimpin pasar produsen wood pellet dengan kapasitas produksi sebesar 150.000 ton per tahun, yang ditargetkan akan mulai produksi pada akhir tahun 2025.
Di sektor agro industri, Mitrabara masuk ke bisnis aquaculture melalui PT Mitradelta Bahari Pratama (MBP), bekerja sama dengan PT Delta Marine Indonesia yang telah berpengalaman lebih dari 40 tahun di industri budidaya tambak udang vannamei.
Mulai tahun ini, MBP mengoperasikan 20 kolam udang vannamei di So Lembo, Nusa Tenggara Barat, dengan target produksi ± 190 ton.
Secara berkelanjutan, MBP akan menambah jumlah dan menargetkan bisa mengoperasikan secara optimal 140 kolam budidaya dengan target produksi mencapai ± 3.000 ton per tahun.
Perseroan memandang bahwa bisnis aquaculture memiliki peluang cukup besar dan masih sangat terbuka termasuk bagi Perseroan untuk melakukan pengembangan bisnis aquaculture ke sektor hulu dan hilir, seperti cold storage hingga pengolahan.
Di sektor infrastruktur dan jasa, Mitrabara masuk ke bisnis kontraktor pertambangan melalui PT Mitra Muda Makmur (MMM).
MMM ditargetkan untuk menjadi kontraktor pertambangan terkemuka yang mampu memberikan jasa yang kompetitif di industri pertambangan di Tanah Air. Hingga akhir tahun 2023, pilar bisnis batubara memang masih mendominasi pendapatan Mitrabara.
Namun, dalam beberapa tahun ke depan, Khorudin optimistis, diversifikasi yang dijalankan akan berkontribusi signifikan pada kinerja perusahaan.
“Kontribusi dari diversifikasi usaha ini kami harapkan mampu menjadi penopang kinerja perusahaan di saat harga batubara turun seperti yang terjadi sepanjang Tahun 2023 hingga saat ini,” kata Khoirudin.
Seperti diketahui, sepanjang tahun 2023, Mitrabara membukukan pendapatan konsolidasi US$ 224,09 juta atau turun 50,15% dari US$ 449,54 juta pada tahun 2022. Adapun, laba tahun berjalan mencapai US$ 21,69 juta, terkoreksi 87,91%, dari US$ 179,39 juta pada tahun 2022.
“Koreksi tajam harga batubara di pasar global menjadi pemicu utama penurunan pendapatan dan laba bersih perusahaan serta kebijakan pemerintah berupa penyesuaian tarif dan formula royalti,” ungkap Khoirudin.
Sumber: neraca.co.id