Porospro.com - Mesir dan Israel belakangan bersitegang imbas serangan Zionis ke perbatasan Gaza-Mesir, Rafah, 6 Mei lalu. Rafah adalah wilayah selatan Gaza yang berbatasan langsung dengan Mesir.
Di awal penyerbuan Israel ke Gaza, sempat ada imbauan pada warga sipil untuk mengungsi ke Rafah. Namun belakangan, tentara zionis malah menyerbu daerah ini juga.
Pekan ini, Mesir dilaporkan telah mengerahkan pasukan tambahan beserta kendaraan pengangkut personel lapis baja ke perbatasan Sinai-Gaza.
Sejumlah penduduk Sheikh Zuweid di Sinai mengaku melihat 15 kendaraan pengangkut yang dilengkapi peralatan tempur mengarah ke perbatasan, Rabu (15/5) malam.
Yayasan Hak Asasi Manusia Sinai pada Kamis (16/5) melaporkan konvoi kendaraan lapis baja lainnya juga terlihat tiba di desa Al-Joura, selatan Sheikh Zuweid.
Pengerahan ini terjadi usai Israel menuding Mesir telah membuat warga Gaza kelaparan karena menutup perbatasan Rafah. Padahal, Mesir menutup perbatasan akibat serangan Israel ke kota selatan Gaza itu pada 6 Mei.
Setelah serangan itu, Israel mengambil kendali perbatasan Rafah dari sisi Palestina.
Menurut seorang sumber militer Mesir, Israel tak mengoordinasikan operasi militernya tersebut dengan Kairo.
Sikap dan tudingan Israel ini pun membuat Mesir geram. Wall Street Journal pada Selasa (14/5) melaporkan bahwa Kairo sedang mempertimbangkan penarikan duta besar mereka dari Israel.
Mesir juga disebut-sebut bakal menarik diri dari posisi mediator negosiasi gencatan senjata Hamas-Israel.
Lebih dari itu, para pejabat senior Zionis memprediksi kemungkinan terburuk bahwa Kairo akan membatalkan perjanjian perdamaian Mesir-Israel yang telah terjalin sejak 1979.
Pengamat studi Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Sya'roni Rofii, mengatakan hubungan Mesir dan Israel memang sedang mengalami fase menegangkan.
Menurutnya pengerahan pasukan Mesir ke Sinai merupakan salah satu gestur unjuk kekuatan Kairo yang mengingatkan pada Perang Arab-Israel pada 1967. Perang selama enam hari itu meletus setelah Mesir mengerahkan pasukan ke tapal batas Israel di Semenanjung Sinai serta ke Syarmus Syaikh, kota di atas tebing yang menghadap ke Selat Tiran.
Israel kala itu memperingatkan bahwa segala bentuk tindakan penutupan selat akan dianggap sebagai tantangan perang terhadap Zionis. Meski sudah diperingatkan, Presiden Mesir saat itu, Gamal Abdul Nasir, tetap menutup Selat Tiran bagi kapal-kapal Israel. Perang pun pecah, yang berakhir kemenangan di pihak Israel.
Selain Perang Arab-Israel 1967, Mesir dan Israel juga pernah berperang pada 1973 yang dikenal dengan Perang Yom Kippur.
Perang itu juga dipimpin oleh Mesir, bersama-sama dengan Suriah. Saat itu, target Mesir-Suriah yakni merebut wilayah-wilayah yang diduduki Israel dalam perang 1967.
Meski sempat keok usai digempur berbagai sisi, Israel pada akhirnya membalikkan keadaan. Negeri Zionis lagi-lagi berhasil memenangkan peperangan.
Menurut Sya'roni, keadaan saat ini mirip dengan situasi tersebut. Namun, ia tetap meyakini bahwa Mesir tidak sedang mempersiapkan serangan ke Israel.
Sya'roni menilai Mesir tak seberani Iran yang sudah lama dikucilkan oleh Barat.
"Mesir tidak seperti Iran yang telah lama diisolasi dan diembargo oleh Barat, sehingga Iran seperti nothing to lose ketika menyerang balik Israel. Sementara Mesir masih memiliki kerjasama dengan Barat dan faktor ini pasti akan membuat Mesir memilih jalan diplomasi seperti menarik duta besar mereka dari Israel dan mendukung gagasan Afrika Selatan di ICJ," kata Sya'roni kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (18/5).
Pada Minggu (12/5), Mesir memutuskan bergabung dengan Afrika Selatan untuk menggugat Israel ke Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) atas tuduhan genosida di Jalur Gaza.
Kementerian Luar Negeri Mesir menyatakan keputusan itu diambil setelah melihat peningkatan agresi Israel yang belakangan menargetkan Rafah, tempat jutaan warga Palestina mengungsi saat ini.
Mesir juga memutuskan hal itu karena kepalang jengkel dengan sikap Zionis terhadap negosiasi gencatan senjata.
"Dukungan Mesir kepada Afrika Selatan di ICJ saya kira bagian dari strategi Mesir untuk menekan Israel agar tidak bertindak sewenang-wenang," kata Sya'roni.
Namun demikian, meski sekarang tidak berencana menyerang Israel, menurut Sya'roni Mesir tetap memiliki garis merah yang tak boleh dilewati Zionis.
"Sinai menjadi batas toleransi Mesir, jika Israel bertindak lebih maka Mesir bisa jadi akan menggunakan pendekatan militer," tukas Sya'roni.
Senada, pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, juga menilai Mesir berusaha menahan diri agar tidak terjadi konflik terbuka dengan Israel.
"Sepertinya Mesir dan juga Israel berusaha menahan untuk tidak terjadi peperangan. Ini yang selalu dicegah agar konflik Israel-Palestina tidak merambat ke negara-negara lain," kata Yon kepada CNNIndonesia.com.
Yon mengamini Mesir memang sedang berada di puncak amarahnya karena disalahkan Israel imbas penutupan perbatasan Rafah.
Mesir juga marah karena Israel tampak menjalankan propaganda untuk memaksa warga Palestina mengungsi dari Rafah ke Sinai, kondisi yang sejak awal ditentang Mesir karena terkait dengan kedaulatannya.
Meski begitu, Mesir bakal tetap menahan diri karena mempertimbangkan seluruh kemungkinan. Tak perlu perang pun, Israel saat ini sudah ditekan sana-sini, termasuk oleh Amerika Serikat dan Inggris selaku sekutu utama.
Bahkan tekanan itu juga datang dari dalam negeri Israel sendiri. Yon menyebut terjadi pergolakan di mana rakyat tak lagi mempercayai pemerintah karena melihat ambisi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang hendak memusnahkan Hamas alih-alih menyelamatkan para sandera.
Dengan begitu banyak tekanan, Israel menurut Yon akan semakin melemah. Seiring waktu, "dipastikan Netanyahu akan mengalami kejatuhan kalau memaksakan serangan terus menerus ke Rafah."
Agresi Israel di Jalur Gaza hingga kini telah menewaskan lebih dari 35.300 warga Palestina. Mayoritas korban ialah anak-anak dan perempuan.
Sumber: CNN Indonesia