Iuran BPJS Kesehatan Dinaikkan

Iuran BPJS Kesehatan Dinaikkan

Porospro.com - Pandemi Covid-19 tidak membuat rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan tertunda atau bahkan batal. Justru, di tengah pandemi Covid-19, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Perpres 64 Tahun 2020 pada 5 Mei lalu.

Perpres itu poin intinya adalah menaikkan tarif iuran BPJS Kesehatan dan mengubah skema tanggungan iuran.

Kenaikan iuran berlaku bagi peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP). Untuk kelas III, tarifnya akan naik 37 persen dari Rp25.500 menjadi Rp35 ribu.

Sementara, untuk kelas II dan I, kenaikan tarifnya hampir mencapai 100 persen atau dua kali lipat (selengkapnya lihat grafis). Bedanya, tarif baru untuk kelas III akan berlaku mulai 2021. Sementara, untuk kelas II dan I, berlaku mulai 1 Juli 2020.

Berikutnya adalah aturan baru untuk iuran BPJS Kesehatan bagi peserta pekerja penerima upah (PPU). Besaran iurannya tetap sama, yakni senilai 5 persen gaji bulanan.

Namun, aturan baru membuat pemberi kerja harus membayar porsi iuran lebih besar. Yakni 4 persen. Sementara, peserta membayar 1 persen sisanya yang dipotong dari gaji.

Sebagai gambaran, bila seorang karyawan digaji Rp10 juta per bulan, maka nilai iuran BPJS Kesehatannya 5 persen atau Rp500 ribu. Dari tarif tersebut, si karyawan hanya menanggung seperlimanya. Gajinya akan dipotong Rp100 ribu. Sisanya, Rp400 ribu ditanggung pemberi kerja.

Hal itu berbeda dengan aturan sebelumnya di mana dari tarif 5 persen, peserta PPU membayar 2 persen dan pemberi kerja 3 persen. Selain persentase, perubahan lainnya ada pada batas maksimal gaji yang menjadi hitungan iuran.

Dari Rp8 juta naik menjadi Rp12 juta. Artinya, iuran maksimal akan naik dari Rp400 ribu menjadi Rp600 ribu.

Perpres menyebut bahwa pertimbangan kenaikan tarif iuran itu adalah untuk menjaga kualitas dan kesinambungan program jaminan kesehatan. Sehingga kebijakan pendanaannya termasuk iuran perlu disinergikan dengan kebijakan keuangan secara proporsional. Perpres itu mengklaim mempertimbangkan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 7/P/Hum/2020.

"Sesuai dengan apa yang sudah diterbitkan tentunya ini adalah untuk menjaga keberlangsungan bagi BPJS Kesehatan," terang Menko Perekonomian Airlangga Hartarto saat dikonfirmasi usai ratas virtual bersama Presiden, Rabu (13/5).

Dia memastikan tetap ada iuran yang disubsidi pemerintah. Selebihnya, menjadi iuran bagi peserta untuk keberlanjutan operasional BPJS Kesehatan.

Airlangga menuturkan, pada prinsipnya peserta BPJS Kesehatan terbagi dua golongan. Yakni, mereka yang disubsidi pemerintah dan yang membayar iuran.

"Tetapi terhadap keseluruhan operasionalisasi BPJS dirasakan tetap diperlukan subsidi pemerintah," tambah politikus Partai Golkar itu.

Kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan belakangan ini memang dipersoalkan sejumlah kalangan. Perpres sebelumnya, yakni Nomor 75 Tahun 2019 diuji materi ke MA.

MA mengabulkan gugatan uji materi itu sehingga tarif tidak jadi naik. Ternyata, pemerintah membuat perpres baru dengan kenaikan tarif yang berbeda.

Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf mengatakan bahwa diterbitkannya kebijakan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah telah menjalankan putusan MA.

"Aturan kan sudah ada yang menyiapkan, BPJS Kesehatan tinggal menyesuaikan," ujarnya.

Dia menambahkan bahwa untuk perhitungan keuangan yang paling sesuai adalah dengan Perpres 75/2019. Kenaikan iuran dalam perpres tersebut sudah dihitung sesuai dengan keperluan pada 2020.

"Perlu diketahui juga, perpres yang baru ini juga telah memenuhi aspirasi masyarakat seperti yang disampaikan wakil-wakil rakyat di DPR RI. Khususnya dari para anggota Komisi IX, untuk memberikan bantuan iuran bagi peserta pekerja bukan penerima upah (PBPU)/mandiri dan bukan pekerja kelas III," katanya.

Dia menerangkan, besaran iuran JKN-KIS peserta PBPU dan BP/Mandiri untuk bulan Januari, Februari, dan Maret 2020, mengikuti Perpres Nomor 75 Tahun 2019, yaitu Rp160.000 untuk kelas I, Rp110.000 untuk kelas II, Rp42.000 untuk kelas III. Sementara untuk bulan April, Mei, dan Juni 2020, besaran iurannya mengikuti Perpres Nomor 82 Tahun 2018, yaitu Rp80.000 untuk kelas I, Rp51.000 untuk kelas II, dan Rp25.500 untuk kelas III.

"Per 1 Juli 2020, iuran JKN-KIS bagi peserta PBPU dan BP disesuaikan menjadi Rp150.000 untuk kelas I, Rp100.000 untuk kelas II, dan Rp42.000 untuk kelas III," ujarnya.

Pemerintah menetapkan kebijakan khusus untuk peserta PBPU dan BP kelas III. Tahun 2020, iuran peserta PBPU dan BP kelas III tetap dibayarkan sejumlah Rp25.500. Sisanya sebesar Rp16.500, diberikan bantuan iuran oleh pemerintah.

"Kemudian, pada tahun 2021 dan tahun berikutnya, peserta PBPU dan BP kelas III membayar iuran Rp35.000, sementara pemerintah tetap memberikan bantuan iuran sebesar Rp7.000," ungkapnya.

Iqbal juga mengatakan, sebagai upaya mendukung tanggap Covid-19, pada tahun 2020 peserta JKN-KIS yang menunggak dapat mengaktifkan kepesertaannya kembali dengan hanya melunasi tunggakan iuran selama paling banyak enam bulan.

"Sisa tunggakan, apabila masih ada, akan diberi kelonggaran pelunasan sampai dengan tahun 2021, agar status kepesertaaannya tetap aktif. Untuk tahun 2021 dan tahun selanjutnya, pengaktifan  kepesertaan harus melunasi seluruh tunggakan sekaligus," ujarnya.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyatakan bahwa Perpres anyar ini  bertentangan dengan UU SJSN dan UU BPJS.

"UU SJSN dan UU BPJS mengamanatkan pemerintah hanya bayar iuran rakyat miskin, tapi di Perpres 64 ini peserta mandiri kelas 3 yang juga mampu disubsidi oleh pemerintah," katanya.

Menurutnya, kelas 3 dari kepesertaan mandiri itu juga dihuni oleh orang mampu. Sebab orang mampu di kelas 2 dan kelas 1, menurut Timboel, sudah banyak yang turun kelas ke kelas 3 ketika Pepres 75 tahun 2019 dirilis.

"Seharusnya langkah yang diambil adalah lakukan cleansing data PBI dan bila memang penghuni kelas 3 mandiri miskin ya masukkan saja ke PBI. Sementara mereka yang mampu bayar sendiri tanpa subsidi," ujarnya.

Sementara itu, Dirjen Anggaran Kemenkeu Askolani menuturkan, kenaikan tarif BPJS Kesehatan tak akan berdampak signifikan pada pertumbuhan konsumsi tahun ini. Terlebih, pemerintah tetap memberikan subsidi tarif untuk peserta kelas III.

"Dampak penyesuaian tarif BPJS untuk kelas I dan II kemungkinan tidak begitu signifikan (ke konsumsi rumah tangga). Sedangkan untuk kelas III yang jumlahnya paling besar masih tetap diberikan subsidi tarifnya oleh pemerintah di tahun ini," ujarnya di Jakarta, kemarin (13/5).

Askolani melanjutkan, pemerintah juga telah menggelontorkan bansos dan berbagai stimulus bagi masyarakat dan dunia usaha. Kebijakan itu diharapkan bisa menjadi penopang pertumbuhan di kuartal III dan IV.

"Dengan langkah-langkah penanganan kesehatan dan social safety net, serta dukungan pada dunia usaha dan UMKM, dapat memacu ekonomi kembali meningkat di triwulan tiga dan empat," imbuhnya.

Penolakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan disuarakan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Menaikkan iuran BPJS Kesehatan malah memberatkan kondisi masyarakat dan perusahaan di tengah wabah Covid-19. Sekaligus, mengancam roda ekonomi nasional.

"Kondisi masyarakat dan perusahaan sudah berat. Iuran naik semakin menekan daya beli masyarakat. Kalau tidak bisa bayar, mereka tidak dapat akses kesehatan," beber Ketua Apindo Hariyadi Sukamdani dalam diskusi virtual Ikatan Alumi Universitas Indonesia (Iluni), kemarin.

Dalam situasi pandemi Covid-19, mayoritas pendapatan masyarakat turun. Banyak terjadi pemutusan hubungan kerja.

Bahkan, masyarakat yang masih bekerja pun penghasilannya menurun. Tentunya, akan menjadi pekerjaan rumah lagi jika banyak masyarakat yang kesulitan membayar iuran.

Apalagi, lanjut Hariyadi, dengan naiknya iuran BPJS Kesehatan belum tentu meningkatkan kualitas layanan kesehatan. Mengingat, dalam situasi normal, kondisi keuangan BPJS Kesehatan defisit. Tidak sedikit klaim rumah sakit yang telat dibayar oleh BPJS Kesehatan.

"Dalam kondisi yang seperti ini sebetulnya dari perusahaan itu kan juga minta diberikan relaksasi. Kelonggaran untuk tidak membayar penuh, tapi uang darimana mau memberikan relaksasi?" ujar alumnus Magister Manajemen UI tersebut.

Sementara itu, MA enggan berkomentar tentang peraturan baru kenaikan tarif tersebut. Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro menyatakan kenaikan tarif baru oleh pemerintah tentunya sudah melalui pertimbangan pemerintah secara seksama juga.

"MA tidak akan mencampuri dan tidak akan menanggapi. Sebab, hal tersebut sudah merupakan wilayah kewenangan pemerintah," jelas Andi ketika dihubungi, kemarin (13/5).

MA sendiri sebelumnya menerbitkan putusan yang mengabulkan gugatan atas Peraturan Presiden (Perpres) 75/2019. Gugatan yang dilayangkan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) itu meminta MA menguji kembali pasal kenaikan tarif.

MA akhirnya mengabulkan gugatan dan otomatis aturan perubahan tarif di Perpres tersebut tidak berlaku lagi. Putusan dikeluarkan pada Februari, namun hingga bulan ini tidak ada kejelasan mengenai kembalinya tarif ke aturan lama.

Justru, kemudian pemerintah mengeluarkan aturan baru berbentuk undang-undang. Meskipun secara nominal, kenaikannya tidak sebesar Perpres 75/2019.

Namun tindakan itu tetap menuai kritik dari publik. Publik mungkin bisa mengajukan gugatan baru. Namun, Andi menjelaskan bahwa MA tidak berwenang menangani uji materi peraturan sekelas UU.

"MA hanya berwenang mengadili perkara permohonan hak uji materi terhadap peraturan yang kedudukannya di bawah UU, dan itu pun apabila ada pihak yang berkeberatan bertindak sebagai pemohon," lanjutnya.

Wakil Ketua Komisi IX (membidangi kesehatan) DPR Nihayatul Wafiroh menyampaikan kekecewaan dengan diumumkannya kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan.

"Bagi saya pengumuman ini tidak layak. Kurang beretika, ketika rakyat sedang kesusahan karena Covid-19," katanya.

Perempuan yang akrab disapa Ninik itu menuturkan rakyat seperti diombang-ambingkan. Tidak ada kejelasan. Sebelumnya iuran BPJS Kesehatan dinaikkan.

Kemudian setelah keluar putusan MA, kembali diturunkan. Terus sekarang naik kembali. Dia menjelaskan rakat tidak mendapatkan kepastian dan cenderung dipermainkan.

"Walaupun asumsinya kelas I dan II itu adalah masyarakat yang mampu, tetapi dengan adanya Covid-19 ini banyak masyarakat yang menjadi orang miskin baru," jelasnya.

Masyarakat yang sebelumnya memiliki pekerjaan dan bisa membayar iuran BPJS Kesehatan kelas I dan II, menjadi tidak dapat penghasilan karena terkena PHK. Atau penghasilannya dipotong sebab dalam kondisi dirumahkan. Dia menegaskan pemerintah jangan egois untuk terus menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Ninik menuturkan pemerintah harus memperhatikan kondisi psikologi masyarakat saat ini.

Dia mengatakan masyarakat saat ini sedang bingung akibat wabah Covid-19. Kemudian juga sedang galau karena kebutuhan meningkat menjelang lebaran. Selain itu juga perasaan lelah karena sekian lama disuruh berada di rumah saja.

"Ayolah Presiden, jangan membuat main-main hati rakyat," jelasnya.

Pemerintah jangan membuat rakyat semakin tertekan. Masyarakat perlu kebijakan-kebijakan yang bisa membuat tenang. Sehingga muncul optimisme dari masyarakat bahwa pemerintah bisa melindungi seluruh warganya.

Anggota Komisi IX Saleh Partaonan Daulay menambahkan, pemerintah tidak mematuhi putusan MA. Padahal masyarakat sangat berharap putusan yang membatalkan kenaikan iuran BPJS tersebut bisa dilaksanakan.

"Apa yang dilakukan presiden hari jelas melukai perasaan publik," kata Saleh.

Dia menilai pemerintah tidak memiliki empati atas problem yang dialami sebagian besar masyarakat di tengah pandemi Covid-19 ini. Bahwa akibat pandemi ini, jutaan kepala keluarga kehilangan pendapatan karena di-PHK dan dirumahkan perusahaan. Itu berdampak pada merosotnya daya beli.

"Ditambah lagi sekarang kenaikan iuran BPJS. Ini jelas pemerintah tidak punya empati," tegas politikus PAN itu.

Hal serupa juga disampaikan anggota Komisi IX yang lain, Lucy Kurniasari. Menurutnya, tindakan presiden yang menerbitkan Perpres 64/2020 terkait perubahan kedua atas Prepres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan adalah perbuatan melawan hukum. Presiden, imbuh dia, seharusnya taat asas dengan melaksanakan putusan Mahkamah Agung.

"Kalau begini kan pemerintah main-main dengan putusan MA," ujarnya.

Dia khawatir kondisi tersebut akan menjadi preseden buruk ke depan. Bukan tidak mungkin tindakan Jokowi akan diikuti oleh rakyat dengan membangkang pada hukum. Jika itu terjadi jelas berbahaya bagi kehidupan berbangsa. Pihaknya pun mendesak presiden untuk membatalkan Perpres 64/2020.

"Selanjutkan kami minta Presiden laksanakan putusan MA dengan sungguh-sungguh untuk memberi contoh pada rakyat," imbuh anggota dewan dari dapil Jatim I (Surabaya, Sidoarjo) itu.

Sumber: riaupos.co