Porospro.com, - LHOKSEUMAWE – PT. Prasadha Pamunah Limbah Industri (PPLI) menjadi sorotan publik di Provinsi Aceh, setelah terbukanya harga penawaran dalam undangan pra kualifikasi pengelolaan limbah di Badan Usaha Pengelola Pelabuhan (BUPP) Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Arun, dengan PT PATNA sebagai pengelola proyek.
Penawaran yang diajukan PT PPLI dalam proyek tersebut mencapai nilai yang sangat fantastis, lebih dari Rp142 miliar, untuk layanan pembuangan, pengangkutan, dan pengelolaan limbah cair serta lumpur (sludge) yang diklaim terkontaminasi merkuri.
Besarnya penawaran ini memicu spekulasi adanya dugaan intervensi dari pihak tertentu dalam proses penunjukan langsung pengelolaan limbah B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun), khususnya dugaan keterlibatan oknum di perusahaan BUMN dan pejabat Kementerian yang terkait dengan lingkungan hidup.
Menurut sumber dari salah satu tenant di KEK Arun, terdapat oknum pejabat Kementerian yang diduga mengatur spesifikasi teknis pekerjaan agar menguntungkan perusahaan tertentu.
‘’Dalam dugaan ini, proses pengelolaan limbah diarahkan untuk mengikuti spesifikasi teknis yang dibuat sesuai dengan kepentingan pihak-pihak tersebut,’’ ujar sumber yang enggan namanya diposting media siber ini.
Dugaan ini semakin menguat karena nilai proyek yang besar serta posisi strategis KEK Arun, yang menarik perhatian perusahaan-perusahaan besar di sektor pengelolaan limbah industri di Provinsi Aceh.
Namun, dalam surat Sanksi Administrasi yang diterbitkan oleh KLHK Gakkum, tidak ditemukan petunjuk teknis khusus terkait pengangkutan, pemusnahan, atau pemanfaatan limbah B3, hanya kewajiban untuk menyerahkannya kepada pihak yang berizin.
Rekam Jejak PT PPLI
Rekam jejak PT PPLI menambah keraguan publik terkait transparansi perusahaan ini. Pada tahun 2008, terjadi penjualan saham negara sebesar 5 persen kepada PT PPLI.
Meski demikian, perusahaan ini sebenarnya berstatus sebagai perusahaan swasta murni (PMA) tanpa kepemilikan saham pemerintah, meskipun perusahaan ini kerap menggunakan status tersebut untuk memperoleh proyek tertentu.
Selain itu, PT PPLI yang berlokasi di Jalan Raya Narogong Desa Nambo, Kecamatan Kelapa Nunggal, Kabupaten Bogor, itu juga pernah terlibat dalam sengketa pajak dengan Direktorat Jenderal Pajak.
Sengketa ini berkaitan dengan koreksi pajak atas beberapa biaya yang dilaporkan oleh PT PPLI, termasuk Biaya Technical License/Royalty sebesar USD 756,710.00, Biaya Director/Mgt Fees Region sebesar USD 1,080,000.00, dan Biaya Legal Fees sebesar USD 86,183.42.
Direktorat Jenderal Pajak menilai bahwa biaya-biaya tersebut tidak dapat diakui karena tidak didukung dengan dokumen yang memadai.
PT PPLI membawa kasus ini ke Pengadilan Pajak dan kemudian ke Mahkamah Agung melalui permohonan peninjauan kembali.
Namun, Mahkamah Agung menolak permohonan PT PPLI dalam putusan Nomor 161/B/PK/PJK/2017, dan perusahaan ini diwajibkan membayar pajak senilai lebih dari Rp10 miliar.
Permasalahan Pengelolaan Limbah di KEK Arun
Permasalahan pengelolaan limbah di KEK Arun dimulai dari pelanggaran aturan terkait izin penggunaan air limbah dan sludge.
PT PATNA sebagai pengelola KEK Arun, beserta tiga perusahaan lainnya, yaitu PT PAG, PT NHE NSO, dan PT PEG, dikenakan sanksi administratif oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Keputusan Menteri Nomor 8041 Tahun 2024.
Sanksi ini diberikan karena perusahaan-perusahaan tersebut tidak memenuhi beberapa persyaratan, termasuk Persetujuan Teknis Pemenuhan Baku Mutu Air Limbah dan Sertifikasi Layak Operasi (SLO) untuk pengelolaan air limbah di Zona Minyak dan Gas KEK Arun.
Spekulasi dan Tantangan di KEK Arun
Proyek pengelolaan limbah di KEK Arun, yang melibatkan nilai penawaran sangat besar, menjadi pusat spekulasi.
Dikhawatirkan, proses pra kualifikasi ini dapat dimanipulasi melalui beberapa cara, seperti mengarahkan spesifikasi teknis agar sesuai dengan izin yang dimiliki salah satu peserta pra kualifikasi, atau meningkatkan temuan zat tertentu dalam sampel untuk mendukung perusahaan tertentu.
Saat ini, seluruh perusahaan di dalam KEK Arun merasakan kekhawatiran terkait ancaman pidana lingkungan dan potensi penutupan saluran limbah oleh Kementerian, yang dapat berdampak pada operasi perusahaan gas di kawasan tersebut.
Jika hal ini terjadi, penyediaan gas di Aceh dan Sumatera Utara akan terdampak serius.
Kepentingan Publik
Seluruh pihak terkait diharapkan dapat memastikan proses penunjukan langsung dan pra kualifikasi proyek pengelolaan limbah di KEK Arun dilakukan dengan transparansi dan akuntabilitas tinggi.
‘’Penting untuk menghindari segala bentuk kolusi atau praktik tidak jujur yang dapat merugikan kepentingan publik,’’ sebut sumber.
Aparat penegak hukum, seperti KPK RI, BPK, BPKP, Inspektorat Jenderal Kementerian BUMN, dan satuan pengawas internal, diharapkan dapat melakukan pengawasan ketat agar potensi kerugian negara sebesar lebih dari Rp100 miliar rupiah dapat dicegah.
Rekam jejak PT PPLI, termasuk permasalahan hukum dan kecelakaan kerja, seharusnya menjadi bahan pertimbangan serius bagi para pemangku kepentingan di KEK Arun sebelum menunjuk pihak yang akan mengelola limbah di kawasan tersebut. ***