Porospro.com,Natuna_ Dalam dinamika pemerintahan daerah, komunikasi politik menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam membangun kepercayaan publik dan menjalin sinergi antar pemangku kepentingan. Sayangnya, hal ini tampaknya tidak tercermin dalam kepemimpinan Bupati Cen Sui Lan. Sejumlah kalangan menilai bahwa komunikasi politik yang dibangun oleh sang bupati kerap kali terkesan kaku, tertutup, bahkan kontraproduktif terhadap semangat demokrasi lokal.
Sumber dari lingkungan birokrasi menyebutkan bahwa berbagai kebijakan strategis kerap kali tidak disosialisasikan dengan baik kepada publik maupun DPRD. Lebih dari itu, sejumlah keputusan penting juga terkesan tidak melalui mekanisme musyawarah yang sehat. Hal ini menimbulkan dugaan adanya pengaruh eksternal dalam proses pengambilan keputusan.
Nama Raja Mustakim—suami dari Bupati Cen Sui Lan—belakangan menjadi sorotan. Campur tangannya dalam urusan pemerintahan daerah disebut-sebut sebagai salah satu penyebab buruknya komunikasi politik sang istri. Beberapa tokoh dan pengamat politik lokal menyatakan bahwa Raja Mustakim kerap kali hadir dalam forum-forum yang seharusnya bersifat resmi dan eksklusif bagi pejabat pemerintahan, tanpa kapasitas formal yang jelas.
Jika benar bahwa pengaruh Raja Mustakim begitu kuat dalam lingkar kekuasaan, hal ini patut menjadi perhatian serius. Sebab, keberadaan “aktor bayangan” dalam pemerintahan dapat menimbulkan distorsi dalam pengambilan keputusan serta menciptakan iklim ketidakpastian di kalangan birokrasi. Lebih jauh lagi, publik berhak tahu apakah kebijakan yang dijalankan benar-benar berdasarkan pertimbangan objektif dan kepentingan rakyat, atau justru atas dorongan pribadi yang bersifat elitis.
Pemerintahan daerah harus mampu menunjukkan profesionalisme dan keterbukaan. Komunikasi yang buruk, apalagi jika didasarkan pada intervensi non-struktural dari pihak keluarga, hanya akan memperlemah legitimasi politik seorang pemimpin. Sudah saatnya Bupati Cen Sui Lan menjelaskan secara terbuka kepada publik mengenai peran sang suami dalam roda pemerintahan. Transparansi adalah kunci untuk memulihkan kepercayaan rakyat.
Seratus hari pertama selalu menjadi momen penting bagi setiap pemerintahan untuk menunjukkan arah, komitmen, dan kejelasan visi kepemimpinan. Namun menjelang 100 hari duet Bupati dan Wakil Bupati Natuna, Cen Sui Lan – Jarmin, alih-alih menyuguhkan optimisme dan sinyal stabilitas, justru publik disuguhi tanda-tanda keretakan dan kegamangan. Salah satunya yang mencuat adalah kontroversi pembentukan Tim Percepatan Pembangunan Daerah (TP2D) versi “bayangan”, yang terdiri dari 10 nama yang diduga tidak melalui proses formal dan transparan.
Di awal masa jabatan, antusiasme publik sempat menyala. Pasangan Cen – Jarmin diharapkan membawa warna baru dan membangun tata kelola yang lebih profesional dan inklusif. Namun pembentukan TP2D bayangan justru menyulut kecurigaan bahwa ada kekuatan informal yang bekerja di balik layar, mendikte arah pemerintahan tanpa melalui mekanisme hukum dan administrasi yang sah.
TP2D seharusnya menjadi tim strategis, berisi figur-figur dengan kapasitas teknokratis dan integritas tinggi. Namun ketika muncul 10 nama yang disebut -sebut sebagai “tim bayangan” yang bekerja dengan SK resmi namun tanpa partisipasi publik, bahkan tanpa koordinasi dengan legislatif, maka itu bukan hanya persoalan prosedur, tetapi juga menyentuh legitimasi moral dari kepemimpinan itu sendiri.
Retak di Dalam : Minimnya Sinergi dan Koordinasi
Yang lebih mencemaskan, munculnya TP2D bayangan ini justru memperlihatkan retaknya koordinasi internal antara Bupati dan Wakil Bupati. Beberapa sumber menyebut Wakil Bupati Jarmin bahkan tidak dilibatkan secara penuh dalam penentuan komposisi tim. Ini menjadi pertanda bahwa “dua kepala” dalam pemerintahan belum benar-benar berjalan selaras. Jika 100 hari saja sudah penuh kabut ketidakterbukaan, bagaimana dengan lima tahun ke depan?
Dua Arah Kekuasaan, Satu Pemerintahan Terbelah
Masalah ini juga memperkuat dugaan adanya dualisme kekuasaan. Satu sisi adalah kekuatan formal yang diemban oleh pasangan Cen -Jarmin, dan di sisi lain kekuatan informal yang diduga dikendalikan oleh lingkaran pribadi dekat Bupati. Termasuk, kembali mencuatnya nama sang suami, Raja Mustakim, yang disebut-sebut sebagai “penentu” di balik layar TP2D. Apakah ini hanya persepsi? Atau fakta yang belum diakui? Pemerintahan yang sehat seharusnya mampu memisahkan relasi pribadi dari kebijakan publik.
Perdebatan Sang Suami di Grup WhatsApp Internal dengan Sekretaris DPC Gerindra, Penyebab Keangkuhan Akan Kekuasaan
Perdebatan sengit yang terjadi antara Raja Mustakim, suami dari Bupati Natuna Cen Sui Lan, dengan Marzuki, Sekretaris DPC Partai Gerindra Kabupaten Natuna, di sebuah grup WhatsApp Internal yang menjadi topik hangat pemberitaan media, memicu pertanyaan besar, ada apa dengan komunikasi politik di lingkaran kekuasaan Natuna?
Secara etis dan struktural, seorang kepala daerah semestinya menjadi aktor utama dalam menjalin komunikasi politik dengan partai pengusung, pendukung, tokoh masyarakat, maupun masyarakat umum. Namun ketika suami Bupati yang tidak memegang jabatan publik justru tampil sebagai “juru bicara informal” dalam forum-forum diskusi politik, bahkan terlibat adu argumen tajam dengan elite partai, ini jelas menimbulkan kekhawatiran serius.
Politik Bayangan yang Semakin Kasatmata
Campur tangan Raja Mustakim dalam dinamika politik Natuna bukan kali ini saja menjadi sorotan. Namun perdebatan terbuka melalui media digital seperti WhatsApp memperjelas bahwa ia bukan sekadar pendamping kepala daerah, tetapi sudah mengambil peran aktif dalam arena politik praktis. Ini adalah gejala politik bayangan yang kerap merusak tatanan demokrasi lokal. Ketika pengambilan keputusan dan komunikasi strategis dijalankan oleh figur non-struktural, maka akuntabilitas dan transparansi pun menjadi kabur.
Retaknya Hubungan Eksekutif dan Partai Pendukung
Perlu dicermati, Partai Gerindra yang diketuai oleh Jarmin Sidik merupakan partai pengusung Wakil Bupati Natuna untuk mendampingi Bupati Natuna Cen Sui Lan, bearti bukan partai sembarangan dalam konstelasi politik daerah. Ketika seorang pengurus penting seperti Marzuki berseteru dengan orang terdekat Bupati, hal ini mencerminkan adanya ketegangan serius antara eksekutif dan partai politik. Apakah ini hanya persoalan pribadi? Atau justru menunjukkan konflik kepentingan yang lebih dalam? Bagaimanapun, situasi ini mencoreng etika komunikasi pemerintahan yang seharusnya bersifat inklusif dan berbasis pada dialog terbuka, bukan debat penuh emosi di ruang digital.
Citra Kepemimpinan yang Terkikis
Seorang Bupati seharusnya menjadi simbol ketegasan, kecerdasan komunikasi, dan ketenangan dalam menghadapi dinamika politik. Ketika suami lebih dominan berbicara, terlebih dalam nada konfrontatif, maka citra kepemimpinan kepala daerah itu sendiri ikut dipertaruhkan. Masyarakat akan bertanya-tanya, siapa sebenarnya yang memimpin Natuna? Apakah Bupati masih menjadi pengambil keputusan utama atau sudah terpengaruh oleh figur di luar struktur formal?
Kebutuhan Akan Klarifikasi dan Reformasi Komunikasi
Kejadian ini seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintahan Kabupaten Natuna untuk menata ulang pola komunikasi politik mereka. Bupati perlu memberikan klarifikasi terbuka kepada publik mengenai peran suaminya dalam pemerintahan dan memastikan bahwa seluruh komunikasi strategis hanya dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki legitimasi formal.
Perdebatan antara Raja Mustakim dan Marzuki bukan sekadar percikan emosi di ruang digital, melainkan refleksi dari sistem komunikasi politik yang tidak sehat. Bila dibiarkan, bukan hanya merusak hubungan antara pemerintah dan partai, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan publik terhadap pemerintahan itu sendiri. Sudah saatnya Bupati Cen Sui Lan bersikap tegas, memimpin sendiri, atau membiarkan bayang-bayang kuasa membungkam demokrasi lokal.
Perlu Cermin yang Jernih, Bukan Bayangan
Menjelang 100 hari, seharusnya publik disuguhi refleksi kemajuan dan kejelasan visi, bukan kebingungan akan siapa yang sesungguhnya memimpin dan merancang masa depan Natuna. Cermin kepemimpinan yang membara di awal masa jabatan, kini mulai retak oleh bayangan-bayangan yang mengganggu prinsip transparansi dan profesionalisme.
Jika Bupati Cen Sui Lan ingin mewariskan legacy yang kuat, maka pembentukan tim strategis harus dilakukan secara terbuka, dengan pertanggungjawaban publik, dan tidak disusupi kepentingan pribadi atau keluarga. Pemerintahan tidak boleh dibangun dari balik tirai. Ia harus tampil di panggung terang, dilihat dan diawasi rakyat.(ecko)