Porospro.com,Natuna_ Sebuah Dialog Bersama Wan Safri Tentang Hidup,Perjuangan dan Pengabdian.
Hal ini semata-mata beliau lakukan bukan sekedar untuk menunjukan beliau itu sukses dari perantauan tetapi beliau melakukan nya memang untuk berbakti kepada kampung halaman.
"Kalau bukan kita yang bantu kampung kita, siapa lagi?"
Ucap beliau.
Di sebuah sore yang tenang di tepi laut Ranai, kami duduk bersama seorang pria bersahaja yang kini dikenal luas dengan inisial BWS, singkatan dari Bang Wan Safri. Nama lengkapnya adalah Wan Safri Syamsudin, sosok inspiratif yang kini tengah menyita perhatian masyarakat Natuna karena dedikasinya yang luar biasa kepada kampung halamannya.
> “Program Balik Kampung, Bantu Kampung ini bukan soal pencitraan,” buka BWS dengan tenang.
“Ini adalah janji pribadi saya, janji hidup saya untuk Natuna, kampung yang pernah mengajari saya bagaimana rasanya berjuang dari bawah.”
Sebuah Masa Kecil yang Tak Mudah
BWS mulai mengisahkan masa kecilnya—perjalanan yang tak semua orang sanggup jalani. Sekitar 32 tahun lalu, ia adalah anak kecil yang harus menerima kenyataan pahit: perceraian orang tua karena tekanan ekonomi.
“Saya dititipkan ke atok saya, Aki Tokesn, di Pulau Seluan. Waktu itu usia saya baru tiga tahun,” ucapnya perlahan.
Almarhumah ibu saya, Partini, merantau ke Pinang dan Batam, sementara almarhum encek saya sudah menikah lagi dan tinggal di Sedanau.
“Saya masih ingat jelas, ketika mak saya hendak merantau, saya menarik baju beliau agar tidak pergi,” kenangnya, matanya sedikit berkaca.
“Setiap kapal datang ke pelabuhan, saya berlari berharap mak saya pulang. Tapi yang datang hanya ombak dan angin.”
Sejak usia enam tahun, BWS sudah ikut melaut.Kadang tiga malam kami di laut. Kalau ada ikan, saya bantu jual keliling. Tapi kalau tidak ada hasil, kami hanya makan ubi cincang yang dicampur sedikit nasi—kadang-kadang bahkan hanya makan ubi saja.
Ia bersekolah di SDN Seluan, dan beruntung punya kepala sekolah sebaik almarhum Wan Kasim, yang membebaskan biaya sekolahnya dan rutin memberi beras setiap bulan.
Hidup Mandiri Sejak Remaja
Kelas lima SD, ibunya akhirnya pulang dan membawanya ke Batam. Ia sempat sekolah di MTs Sedanau selama setahun sebelum melanjutkan pendidikan di Pesantren Darul Falah, dan kemudian lulus dari SMA Hang Tuah, Bengkong Polisi.
Namun, perjuangan belum selesai.
“Saya tinggal di masjid, kerja di minimarket sekolah siang hari, dan malamnya ngojek bareng teman saya, Arjuhan,” jelasnya. Semua dilakukan demi bisa terus sekolah.
Setelah lulus SMA, BWS bekerja keras.
“Setahun kerja, saya buka warnet. Lalu buka jasa tiket pesawat. Saya juga pernah jadi tukang las kapal di Tanjung Uncang.” Semua ia lakukan demi bertahan hidup.
Titik Balik: Dunia Trading
Perubahan besar dalam hidupnya terjadi ketika ia bergabung dengan perusahaan asal Rusia yang bergerak di bidang Broker Valuta Asing (Valas). Di sana ia dipercaya sebagai marketing, kemudian berkembang menjadi trader dan investor.
“Itulah titik balik hidup saya,” katanya.
Saat rezeki melimpah dan keluarga sudah hidup berkecukupan, BWS tidak melupakan akar dan tanah kelahiran.
“Saya ikhlaskan diri saya untuk Natuna,” tegasnya.
Membantu Tanpa Pamrih
“Saya mulai bantu warga lewat pembagian sembako, renovasi rumah, uang tunai, dan ciptakan lapangan kerja,” ujarnya.
“Semua dokumentasi saya itu untuk motivasi, bukan pamer.”
Kini ia tengah membangun Yayasan Natuna Pulau Tujuh dan juga membuka sebuah apotek di Pulau Sedanau.
Selain itu, ia sedang memperjuangkan agar program makanan bergizi dari Presiden Prabowo bisa hadir di Sedanau dan sekitarnya.
> “Program itu bagus karena selain memberi makan gratis, juga menyerap banyak tenaga kerja lokal.”
Menyatukan Semangat Pemuda Natuna
Tak berhenti di situ, BWS juga sedang mendirikan organisasi GPN (Gerakan Pemuda Natuna).
“Organisasi ini akan jadi wadah persaudaraan, gotong royong, tempat mengadu keluh kesah, bahkan sebagai pengawas jalannya program pemerintah.”
Di bulan Agustus, ia akan mengadakan turnamen bola voli di Pantai Piwang Ranai dengan total hadiah mencapai Rp 67,5 juta.
“Saya ingin masyarakat punya ruang berekspresi, bersatu, dan bangga dengan daerahnya.”
Janji untuk Nelayan dan Masa Depan Natuna
Dalam penutup pembicaraan, BWS mengutarakan satu komitmen lagi:
Jika ada rezeki lebih, saya berkeinginan membuat program untuk para nelayan—membantu perlengkapan tangkap ikan, budidaya laut seperti ikan dan terumbu karang, serta perbaikan jalan-jalan rusak dan lain sebagainya.
Saya pernah jadi orang yang tak berdaya. Maka saya paham betul rasanya. Dan saya percaya, kalau bukan kita yang bantu kampung kita, siapa lagi?
Pesan untuk Pejabat dan Pengusaha
Melalui kisah hidupnya, BWS ingin menyampaikan satu hal penting—sebuah harapan yang ia titipkan kepada mereka yang kini berada di puncak kehidupan.
"Saya tidak datang dari keluarga kaya, saya dibesarkan oleh peluh dan air mata. Tapi saya percaya, ketika hidup sudah cukup, maka yang terbaik bukanlah menumpuk, tapi memberi."
"Saya buat dokumentasi bukan untuk pamer, tapi agar jadi motivasi. Saya ingin mengajak semua pejabat, pengusaha, dan siapa pun yang telah berkecukupan: pulanglah ke kampung halaman, lihat mereka yang masih berjuang. Kalau bukan kita, siapa lagi?"
Pantun Penutup
Patah galah di ujung tanjung,
Patah satu tumbuh kembali.
BWS pulang membangun kampung,
Dengan niat tulus dari hati.
Buah delima jatuh ke riba,
Dibelah empat dibagi-bagi.
Kalau hidup telah sejahtera,
Jangan lupa bantu negeri sendiri. (×××)