Porospro.com - Delapan tahun sudah berlalu sejak nama Kilang Putri Tujuh resmi diganti menjadi Kilang Pertamina Internasional (KPI). Pergantian yang dilakukan sebagai bagian dari transformasi perusahaan itu masih menyisakan berbagai pandangan di tengah masyarakat Kota Dumai. Meski bagi sebagian orang perubahan tersebut dianggap hal biasa, bagi sebagian lainnya, nama Putri Tujuh menyimpan makna yang jauh lebih dalam daripada sekadar penanda lokasi industri.
Di antara warga yang merasakan kehilangan itu adalah Riski Kurniawan, keturunan dari almarhum Haji Lebai Gedang, salah satu tokoh penting Kota Dumai sekaligus orang yang dikenal sebagai sosok yang menyemah kawasan kilang pada masa lampau. Ditemui di sebuah kedai kopi di bilangan Jalan Sudirman, ia berbagi pandangannya mengenai perubahan nama kilang yang telah beroperasi sejak 1971 tersebut.
Riski menuturkan bahwa nama Putri Tujuh bukan sembarang nama. Menurutnya, nama tersebut adalah warisan budaya yang sudah menyatu dengan identitas masyarakat setempat.
“Nama itu bukan hanya label. Itu cerita, sejarah, dan jati diri kota ini,” ujar Riski sambil menyeruput kopi hitamnya.
Ia menjelaskan bahwa di kawasan kilang tersebut terdapat pesanggrahan Putri Tujuh, sebuah titik yang selama ini menjadi bagian dari legenda yang termahsyur di Dumai.
“Di dalam area itu ada pesanggrahan Putri Tujuh. Itu tempat yang selalu dikaitkan dengan kisah legenda yang kami dengar sejak kecil,” katanya.
Riski menilai penamaan Kilang Putri Tujuh adalah bentuk penghormatan terhadap sejarah lokal. Menurutnya, nama tersebut dulunya menjadi tanda yang membuat masyarakat memahami asal-usul berdirinya kilang besar itu.
“Penamaan itu sangat jelas menunjukkan di mana kilang itu berada dan apa nilai sejarahnya. Itu identitas, bukan sekadar nama,” tegasnya.
Saat ditanya bagaimana perasaannya melihat nama itu diganti, Riski tampak merenung sejenak. Ia lalu berkata pelan,
“Saya merasa seperti sebagian memori kota ini terhapus. Bagi orang luar mungkin tak berarti apa-apa, tapi bagi kami yang tumbuh di Dumai, itu rasanya beda,” jelasnya.
Ia juga menambahkan bahwa perubahan tersebut membawa dampak psikologis bagi warga yang memegang teguh cerita dan budaya lokal.
“Kalau akar sejarah perlahan hilang, kami takut generasi muda nantinya tidak lagi mengenal cerita-cerita itu,” tambahnya.
Dalam obrolan tersebut, Riski menyampaikan pendapat yang cukup berani mengenai rangkaian insiden teknis di kilang beberapa tahun terakhir. Ia menyebutnya sebagai bentuk “peringatan alam”, walau menegaskan bahwa itu hanyalah pandangannya sebagai masyarakat.
“Saya pribadi menduga, mungkin saja kejadian letupan kilang yang terjadi dari tahun ke tahun itu karena pihak manajemen ‘kualat’. Tapi itu hanya dugaan saya, bukan tuduhan. Seperti kepercayaan orang-orang tua dulu,” ucapnya sambil tersenyum kecil.
Menurutnya, istilah kualat dalam budaya Melayu merujuk pada keyakinan bahwa meninggalkan atau meremehkan nilai tradisional dapat membawa ketidakharmonisan.
“Ini sekadar kepercayaan budaya. Saya sampaikan sebagai pandangan masyarakat saja,” jelasnya mempertegas.
Riski berharap pihak perusahaan maupun pemerintah dapat menghargai sejarah yang telah menjadi bagian dari wajah Dumai. Ia menilai bahwa modernisasi tidak harus menghapus jejak masa lalu.
“Boleh lakukan rebranding, boleh maju ke level internasional, tapi jangan lupakan akar budaya kami,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa cerita Putri Tujuh selama ini menjadi elemen penting dalam kehidupan sosial masyarakat.
“Legenda itu bukan dongeng kosong. Itu bagian dari kehidupan kami, dari pendidikan di sekolah sampai acara budaya,” tuturnya.
Meski tidak menyerukan pengembalian nama kilang, Riski berharap ada upaya nyata menjaga warisan tersebut.
“Kalau nama kilangnya sudah diganti, tidak apa-apa. Tapi tolong sejarahnya tetap ditonjolkan. Buat museum, monumen, atau ruang edukasi. Jangan dibiarkan hilang,” ucapnya penuh harap.
Selama perbincangan, Riski tampak berbicara dengan penuh perasaan namun tetap tenang. Ia mengakui bahwa perubahan adalah hal yang tidak bisa dihindari, namun tetap menekankan bahwa identitas daerah harus dipelihara dengan kasih dan penghormatan.
“Kita tidak bisa melawan arus zaman. Tapi kita juga tak boleh membiarkan sejarah kita tenggelam,” ujarnya.
Di akhir wawancara, Riski menutup pembicaraan dengan satu kalimat yang ia sebut sebagai pesan untuk generasi muda.
“Nama boleh hilang dari papan, tapi jangan hilang dari hati,” katanya mantap.
Perubahan nama Kilang Putri Tujuh mungkin telah berlangsung delapan tahun, namun cerita, legenda, dan jejak sejarahnya masih hidup di benak masyarakat. Bagi sebagian warga Dumai seperti Riski Kurniawan, nilai-nilai itu adalah warisan yang harus dijaga, agar kisah kota ini tetap utuh di tengah arus perubahan zaman.