Porospro.com - Isu kerusakan hutan kembali menjadi perhatian publik setelah banjir besar di wilayah Aceh - Sumut dan Sumbar membawa potongan kayu hutan terbawa arus.
Kondisi tersebut memunculkan kekhawatiran luas, terutama terkait kemungkinan daerah lain mengalami nasib serupa.
Di Kota Dumai, persoalan Hutan TWA selaku wilayah konservasi dengan luas 4.712,5 Hektar yang menjadi salah satu penyangga ekologis semakin disorot karena dinilai telah berubah fungsi dan bahkan dianggap punah.
Pemerhati lingkungan, David, menegaskan bahwa banjir Aceh - Sumut dan Sumbar harus menjadi alarm keras bagi semua daerah yang kehilangan kawasan hijau.
“Kita lihat banjir di Aceh - Sumut dan Sumbar mengangkut kayu-kayu besar. Itu bukti kuat kerusakan hutan terjadi secara masif. Ini bukan lagi isu lokal, tapi isu nasional,” ujar David.
Ia menjelaskan bahwa kondisi serupa sangat mungkin terjadi di Dumai apabila hujan turun selama beberapa hari tanpa henti.
Menurutnya, hilangnya kawasan hutan TWA membuat Dumai kehilangan benteng alami untuk menahan limpahan air.
“Kalau Dumai hujan terus menerus, potensi banjir sangat besar. Penyangga kota sudah hilang. Hutan TWA itu sudah tidak berfungsi, bahkan saya katakan sudah punah,” kata David.
David menyoroti bahwa perubahan fungsi kawasan TWA Dumai berlangsung lama dan terkesan tanpa pengawasan memadai. Ia menilai instansi terkait, termasuk BKSDA, tidak menjalankan tugas pokok dan fungsi dengan baik.
“BKSDA gagal menjaga kawasan konservasi. Itu fakta yang tidak bisa disembunyikan lagi,” tegasnya.
Ia memaparkan bahwa kondisi di lapangan menunjukkan banyak area yang dulunya merupakan kawasan hijau kini berubah menjadi lokasi aktivitas manusia.
Hal tersebut menciptakan ketidakseimbangan ekologis yang berdampak langsung pada risiko banjir dan bencana lain.
“Begitu hutan berubah fungsi, daya serap air hilang. Dumai jadi sangat rentan,” ujar David.
David menekankan bahwa penanganan persoalan ini tidak boleh menunggu kejadian besar terjadi terlebih dahulu. Menurutnya, pemerintah harus segera melakukan evaluasi total terhadap tata kelola lingkungan di Dumai.
“Kalau kita menunggu banjir dulu baru bergerak, itu sudah terlambat. Kebijakan harus berubah sekarang,” ucapnya.
Ia juga menyerukan agar masyarakat diberi pemahaman bahwa hutan bukan sekadar ruang kosong, tetapi sistem yang menjaga keselamatan kota. Keberadaan pohon-pohon tua, kawasan gambut, dan jalur air alami merupakan faktor penting dalam mencegah bencana ekologis.
“Hutan itu penjaga kita. Kalau penjaga hilang, kota tinggal menunggu musibah,” kata David.
Mengakhiri penjelasannya, David meminta agar pemerintah pusat turut turun tangan dalam menyelesaikan persoalan kerusakan hutan di Dumai.
Menurutnya, isu ini bukan lagi sekadar tanggung jawab daerah semata apalagi ia menilai BKSDA sudah gagal dalam mencegah perambahan wilayah konservasi dari tangan-tangan jahil, oleh sebab itu ia meminta agar BKSDA Angkat kaki saja dari Dumai.
“Ini menyangkut keselamatan puluhan ribu warga. Kerusakan TWA Dumai harus menjadi perhatian nasional, kami melihat hadirnya BKSDA tidak memiliki peran yang sesuai daripada hanya menghabiskan Anggaran saja, lebih baik mereka angkat kaki dari dumai, jika diperlukan bubarkan saja,” pungkasnya.