Polemik RTRW Dumai, Riski Kurniawan Soroti Skandal Perubahan Status Lahan Basilam yang Untungkan Oknum Tertentu

Polemik RTRW Dumai, Riski Kurniawan Soroti Skandal Perubahan Status Lahan Basilam yang Untungkan Oknum Tertentu

Porospro.com - Persoalan tata ruang di Kota Dumai kini memicu tanda tanya besar seiring dengan berpindah-pindahnya lokasi kawasan hutan kota yang dinilai tidak konsisten. 

Publik mempertanyakan dasar kebijakan di balik pergeseran titik koordinat hijau tersebut yang seolah mengikuti kepentingan tertentu daripada fungsi ekologis. 

Ketidakjelasan mengenai bilangan pembagi yang digunakan untuk menentukan proporsi kawasan hutan dan kawasan Akses Pengunaan Lainnya atau APL memicu kecurigaan adanya manipulasi data demi meloloskan agenda terselubung di atas lahan yang sebelumnya terlarang.

"Mengapa kawasan hutan kota Dumai bisa berpindah-pindah dan sebenarnya berapa bilangan pembagi yang digunakan untuk menentukan luas kawasan hutan serta kawasan akses penggunaan lainnya di sana," ujar Riski Kurniawan yang merupakan salah satu Tokoh Pemuda dalam sebuah wawancara khusus mengenai polemik tata ruang tersebut, (20/12).

Ia menegaskan bahwa tanpa transparansi mengenai perhitungan ini, maka perubahan status lahan akan terus menjadi celah bagi praktik mafia tanah yang berlindung di balik regulasi pemerintah daerah.

Sorotan tajam tertuju pada perubahan status wilayah Basilam dan Tanjung Penyembal yang terjadi sebelum penetapan RTRW 2019-2039, di mana daerah tersebut awalnya merupakan kawasan hutan yang kemudian disulap menjadi APL. 

"Dulu harga tanah di wilayah itu rata-rata hanya sepuluh juta sampai dua puluh juta rupiah per hektar, tapi setelah menjadi APL, harga tanah melonjak drastis menjadi tiga ratus ribu hingga satu juta rupiah per meter persegi," ungkap Riski Kurniawan yang juga Ketua Yayasan H. Lebai Gedang serta Salah satu Koordinator Aliansia Rakyat Untuk Keadilan Kota Dumai (ARUK) dengan nada bicara yang tegas. 

Ia menilai lompatan harga yang ribuan kali lipat ini menunjukkan adanya keuntungan besar yang diraih oleh segelintir pihak akibat perubahan status hutan menjadi lahan siap pakai untuk industri.

Kini kekhawatiran serupa muncul menjelang penetapan RTRW 2025-2045 yang diduga akan kembali mengacak-acak kepastian hukum atas tanah milik masyarakat luas. 

Ada indikasi kuat bahwa demi memenuhi syarat luas kawasan hutan minimal berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021, pemerintah mungkin akan mengambil langkah kontroversial. 

Skenario yang paling ditakuti adalah pengalihan status pemukiman warga menjadi kawasan hutan demi menyeimbangkan hilangnya hutan yang sudah diubah menjadi kawasan industri.

"Apakah perubahan kawasan hutan menjadi akses penggunaan lainnya ini nantinya akan merubah surat tanah masyarakat yang awalnya daerah pemukiman menjadi kawasan hutan hanya untuk mencukupi bilangan pembagi berdasarkan Permen LHK tersebut," tanya Riski Kurniawan mempertanyakan nasib ribuan kepala keluarga. 

Ia memperingatkan bahwa jika rakyat dipaksa mengalah demi menjaga angka statistik hutan, sementara lahan industri tetap aman di status APL, maka ini adalah bentuk ketidakadilan yang nyata.

Praktik ini semakin diperkeruh dengan temuan adanya salah satu kawasan yang diduga kuat dikuasai oleh oknum personal tertentu yang mengelola lahan secara mandiri dan membaginya dalam skala ratusan hektar. 

Dugaan motif di balik pembagian lahan privat ini adalah sebagai upaya untuk memuluskan penguasaan ribuan hektar lahan lainnya yang berada dalam satu hamparan kawasan yang sama.

Penguasaan lahan oleh oknum perorangan ini menjadi bukti lemahnya pengawasan serta adanya potensi kongkalikong yang merugikan negara dan masyarakat kecil.

Pemerintah Kota Dumai maupun pemerintah pusat melalui kementerian terkait diminta untuk segera melakukan penataan ulang secara menyeluruh sebelum konflik agraria semakin membesar. 

Penertiban terhadap oknum-oknum yang menguasai lahan secara sepihak harus menjadi prioritas agar fungsi hutan dan hak rakyat atas pemukiman tidak terus dikorbankan. 

"Tanpa adanya tindakan tegas, tata ruang Dumai hanya akan menjadi alat bagi para spekulan tanah untuk memperkaya diri sendiri dengan menumbalkan kelestarian alam dan kesejahteraan warga sekitar," tutur Rizki.