Porospro.com - Judul Buku: Bringing Up Bébé: Rahasia Kedamaian Pengasuhan ala Prancis; Penulis: Pamela Druckerman; Penerbit: Bentang Pustaka, Yogyakarta, Juni 2020; Tebal: xi + 357
"Selamat begadang ya!" Ucapan itu terlontar dari salah seorang kawan ketika dia tahu saya baru menjadi seorang ayah. Tentu saja maksudnya bahwa setelah menjadi orangtua, saya akan banyak kehilangan jatah waktu tidur. Bukan hanya jatah waktu tidur saja, jatah waktu untuk banyak kegiatan lain praktis akan hilang.
Menjadi orangtua sejatinya ialah kesiapan untuk merelakan banyak hal untuk anak. Saya pun sempat bertanya pada diri sendiri: apakah benar saya sudah siap menjadi ayah?
Dan sungguh, menjadi orangtua memang bukan perkara mudah. Mulanya, ketika usia anak saya baru tiga hingga lima bulan, masalahnya hanya soal menenangkannya saat bangun pada tengah malam. Namun, ketika usianya sudah menginjak tujuh bulan, masalahnya bertambah: tingkahnya semakin aktif dan betapa sulit membujuknya agar mau makan MPASI (Makanan Pendamping ASI).
Saya merasa membutuhkan buku panduan, dan saya menemukan buku memoar berjudul Bringing Up Bébé: Rahasia Kedamaian Pengasuhan ala Prancis yang ditulis oleh Pamela Druckerman. Dalam buku itu, Druckerman menceritakan pengalamannya sebagai orangtua Amerika Serikat (AS) yang tinggal di Prancis.
Druckerman mengawali ceritanya saat mengajak putrinya yang baru berusia delapan bulan untuk ikut liburan musim panas. Alih-alih mendapatkan kesenangan selama pelesiran, ia justru merasa seperti "disiksa di dalam neraka" karena harus menghadapi ulah putrinya. Ketika dia mengajak putrinya ikut makan di restoran, tak butuh lama untuk membuat si bocah menumpahkan garam dan merobek sachet gula.
Druckerman dan suaminya bahkan sempat bersumpah tidak mau pelesiran dan menambah anak lagi. Namun, ia merasa iri saat melihat anak di keluarga Prancis yang sangat berbeda dengan putrinya. Dia pernah melihat anak seusia putrinya bisa duduk tenang di kursinya, menunggu makanan, lalu mulai makan ikan dan sayur yang biasanya tak disukai anak-anak. Sedangkan orangtuanya tak merasa frustrasi, apalagi sampai merasa disiksa dalam neraka.
Anak-anak Prancis, dalam pandangan Druckerman, bak orang-orang dewasa yang sudah mengenal unggah-ungguh. Apa rahasianya?
Berangkat dari keheranan itu, Druckerman lantas mulai melakukan riset dan membuat perbandingan tentang seni pengasuhan a la Prancis dan tempat asalnya, AS. Salah satu aspek yang ia bahas ialah soal bagaimana anak-anak di Prancis bisa tidur nyenyak di usia yang sangat dini. Padahal, pada umumnya, bayi sangat mudah merengek pada tengah malam sehingga mengganggu kualitas tidur orangtuanya. Saya pun merasakan hal yang sama.
Ternyata, setelah dia mencari tahu dengan bertanya pada orang-orang Prancis, dia tak menemukan rahasia khusus tentang bagaimana melatih anak agar bisa melakukan "tidurnya sendiri". Dia kemudian membaca buku-buku yang disarankan oleh teman-temannya untuk mencari tahu soal ini. Hasilnya sama, memang tak ada resep khusus agar anak tidur dengan damai. Sampai akhirnya, dia bertemu dengan seorang dokter Prancis dan menemukan jawaban yang sangat sederhana: jeda.
Sang dokter menamai metode itu dengan istilah la pause. Anak-anak yang terbangun pada tengah malam diberikan waktu jeda untuk menangis. Anjuran ini bukan berarti membiarkan anak terus merengek sampai berguling-guling, namun cara ini tepat untuk memahami fase tidur anak.
Langsung menggendong anak saat menangis justru terkadang mengganggu tidurnya. Karena bisa jadi saat menangis si anak sebetulnya masih tertidur dan sedang beradaptasi dengan fase tidur nyenyaknya. Perlahan tapi pasti, mereka pun mulai belajar untuk melakukan tidurnya sendiri. Druckerman pun mencoba mempraktikkan metode ini. Hasilnya, putrinya akhirnya bisa melakukan tidurnya sendiri.
Tenang dan Menunggu
Selain soal tidur nyenyak pada malam hari, Druckerman juga mengungkap rahasia mengapa anak-anak Prancis bisa begitu tenang dan mau menunggu. Dari pengamatannya, dia tahu bahwa anak-anak di Prancis dibiasakan berlatih untuk menunggu.
Anak-anak Prancis terbiasa dengan penantian. Mereka dilatih untuk menunggu waktu yang tepat saat ingin menunaikan keinginannya. Misalnya, melatih anak agar mau menunggu jadwal makannya. Pelatihan seperti itu, dalam pengamatan Druckerman, justru membuat anak bisa menuai kebahagiaannya.
Dia bahkan yakin bahwa rahasia anak-anak Prancis yang jarang mengeluh atau mengalami tantrum --atau setidaknya yang lebih jarang ketimbang anak-anak AS-- adalah karena mereka berlatih menghadapi rasa frustrasi dalam diri mereka sendiri.
Dari pengamatan-pengamatan itu, saya melihat Druckerman telah memberikan gambaran besar tentang pola pengasuhan a la Prancis yang bertitik berat pada kemandirian anak-anak. Anak-anak dilatih untuk menyadari bahwa mereka sesungguhnya adalah makhluk rasional, tak peduli betapa mungilnya tubuh mereka.
Saya kira, pengalaman yang dipaparkan oleh Druckerman itu juga cukup valid untuk bisa dipraktikkan. Kendati demikian, dalam pandangan saya, ia terkesan utopis jika digebyah-uyah untuk semua anak. Sependek pengalaman saya sendiri sebagai ayah, saya sudah sempat mempraktikkan jeda untuk membuat anak saya tertidur lelap. Hasilnya toh anak saya tetap membutuhkan pelukan ayahnya saat tangisnya terus menjadi-jadi.
Belum lagi, perkara pengasuhan anak memang harus dipertimbangkan dan menjadi kesepakatan kedua orangtua. Terlepas dari itu, bagi saya, Druckerman telah menulis pengalamannya dengan sangat bagus. Pengalaman Druckerman ini sangat layak untuk dipakai sebagai alternatif gaya pengasuhan. Gagasannya juga sangat mulia, yakni mendorong anak supaya menjadi dewasa sejak usia yang sangat dini, bahkan mungkin melampaui ketangguhan orang-orang dewasa itu sendiri.
Gagasan itu secara tersirat muncul dalam kutipan lagu anak-anak Prancis yang ditulis pada awal halaman buku ini: Ikan-ikan kecil di air berenang sama hebatnya seperti ikan besar.
Sumber: detik.com