Porospro.com - Cuaca masih gerimis, Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sore itu baru saja diguyur hujan deras. Hanya dua pemulung yang tersisa di sana, salah satunya adalah anak di bawah umur.
Kedua tangan mereka memang masih memegang sebilah pengait dan karung berukuran sedang. Namun tidak lagi gesit, durasi memungut botol-botol bernilai rupiah itu tampak melambat dari biasanya. Bahkan sesekali mereka tergelincir. Sebab dampak hujan tadi, timbunan sampah sepertinya licin sekali untuk telapak kaki.
Dari kejauhan, posisi mereka yang tepat di tengah TPA itu tidak terdengar suara apapun kecuali hiruk-pikuk segerombolan Burung Gagak.
Pemandangan itu membuat saya semakin cemas melangkah ke tengah sana. Padahal jarum jam di tangan kiri ini sudah mengarah pukul 16.25 WIB. Posisi saya kala itu masih berteduh di bawah pohon rimbun yang tidak jauh dari lokasi, jaraknya sekitar setengah luas lapangan sepak bola. Cukup lama di situ, kira-kira 15 menit.
Apapun risikonya, saya tetap harus memantau langsung dan wawancara bertatap muka di sana. Hal ini tentu saja demi memperoleh data yang valid. Pasalnya, di posisi itu sangat tepat melakukan penelusuran karena merupakan timbunan sampah yang baru tiba dibawa petugas dari arah pasar.
Demi tugas, kaki bersepatu warna cokelat ini pun akhirnya memberanikan diri melangkah ke depan. Saya melewati jalur Mobil Truck warna kuning milik Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil).
Jalur itu hanya disediakan beberapa keping papan saja, kiri dan kanan, secukupnya untuk Truck mengangkut sampah. Kondisinya cukup licin, ditambah lagi sepatu yang digunakan saat itu jenis pansus.
Saya melangkah pelan, seraya melirik kiri dan kanan menatap satu-persatu sampah yang mencolok. Saat itu belum menunjukkan tanda-tanda tercemar limbah medis Covid-19. Saya masih harus melangkah lebih jauh lagi.
Masker Scuba yang saya gunakan sebenarnya tidak pernah absen selama di sana. Namun ketika menarik nafas, aroma sampah yang baru diguyur hujan tadi masih saja terasa pada indra penciuman, aromanya menyengat sekali, menyelinap ke rongga hidung.
Baru saja tiba di tengah-tengah timbunan sampah, saya langsung menemukan masker sekali pakai, masker pertama yang ditemukan berwarna hijau. Selanjutnya, empat sampai lima langkah berjalan, saya kembali menemukan masker serupa. Namun kali ini berwarna biru. Kondisi semuanya masih utuh.
Soal penemuan itu, saya langsung mendekat dan bertanya kepada salah seorang pemulung, dia pun mengaku sering menemukan sampah serupa.
“Ini banyak masker, masih baru,” kata Marhat menunjukkan kepada saya. Masker yang ditunjukkan itu berwarna putih, beda jenis dari sebelumnya, namun sama-sama untuk sekali pakai.
Sebagai pemulung, warga Parit 20 Tembilahan ini bahkan mengaku tidak hanya masker sekali pakai, limbah medis Covid-19 jenis lainnya juga selalu ditemukan. Seperti sarung tangan karet dan sejenis jas hujan seperti Baju Hazmat yang biasa digunakan petugas medis penanganan pasien Covid-19.
Setelah itu, menyusul Face Shield. Sesekali ditemukan pula jarum suntik hingga botol infus. Belum dapat dipastikan sumbernya dari mana, namun kewaspadaan semakin meningkat dalam mengumpulkan informasi tersebut.
Baiklah, saya memulai cerita dari awal. Ide mengangkat tema tentang limbah medis Covid-19 ini berawal pada tanggal 22 November 2020 pagi, sekira pukul 09.00 WIB, waktu itu saya berdiskusi di suatu tempat dengan Ridwan, salah seorang pengurus Komunitas Pecinta Alam dan Lingkungan Kabupaten Inhil. Nama komunitas ini mereka singkat dengan KPAL.
Diskusi pagi itu memangkas waktu hampir satu jam lamanya. Pembahasannya tidak lain adalah soal limbah, khususnya limbah medis Covid-19.
Beranjak dari situ, saya mulai terfokus pada satu titik permasalahan yaitu pembuktian soal limbah tersebut.
Sekira pukul 13.00 WIB dihari itu juga, dengan mengenakan kaos oblong, saya pun turun dari rumah menuju TPA satu-satunya milik pemerintah yang berdekatan dengan batas ibu kota kabupaten. Lokasinya di Kelurahan Sungai Beringin, Kecamatan Tembilahan. Kurang lebih 15 menit dari pusat kota.
Tebersit dalam benak selama di perjalanan, jika misi ini berhasil, maka banyak keuntungan yang didapat. Pertama, melalui tulisan, saya turut menyosialisasikan kepada semua komponen soal pengelolaan limbah tersebut sesuai edaran dari Menteri LHK Nomor: SE.2/MENLHK/PSLB2/PLB.3/3/2020 Tahun 2020.
Sebagaimana diketahui, edaran itu sebagai pedoman dalam pelaksanaan mengelola limbah infeksius secara detail. Yang mana, limbah berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan harus dilakukan penyimpanan dalam kemasan yang tertutup paling lama 2 hari sejak dihasilkan. Limbah itu diangkut dan dimusnahkan dengan menggunakan fasilitas insinerator dengan suhu pembakaran minimal 800 derajat celsius, atau menggunakan autoclave yang dilengkapi dengan pencacah.
Kemudian, untuk limbah dari Orang Dalam Pemantauan (ODP) yang berasal dari rumah tangga harus dikumpulkan seperti masker, sarung tangan dan Alat Pelindung Diri (APD) lainnya dimasukkan ke dalam wadah tertutup. Pengemasannya harus dilakukan sendiri.
Selanjutnya bagi masyarakat umum yang sehat, sebisa mungkin menggunakan masker guna ulang yang dapat dicuci setiap hari. Jikapun menggunakan masker sekali pakai, diharuskan untuk merobek, memotong atau mengguntung dan dikemas rapi sebelum dibuang ke tempat sampah.
Keuntungan berikutnya yang didapat adalah menunaikan tugas menulis 15 berita dan 1 feature setiap bulan di program Fellowship Jurnalisme Perubahan Perilaku (FJPP) kolaborasi antara Dewan Pers dengan Satgas Penanganan Covid-19 yang berlangsung pada triwulan terakhir tahun 2020.
Ya, saya turut berpartisipasi dalam program tersebut. Finansial yang didapat dari program itu cukup memadai di masa pandemi saat ini.
Keuntungan lain yang dinilai tidak kalah penting adalah menunaikan tugas mulia sebagai wartawan di media tempat saya bekerja. Bergerak dari pola fikir ini, selama di perjalanan terniat dalam hati untuk melawan segala hambatan. Tiba-tiba saja, “Buszzz..” terpaan angin disertai hujan lebat turun seketika.
Sepeda motor jenis matic yang saya kendarai tidak mungkin lagi dilanjutkan. Saya pun berteduh di salah satu tempat usaha Air Bersih (Galon) milik warga setempat. Lokasinya sudah memasuki wilayah Kelurahan Sungai Beringin, satu kawasan dengan TPA. Sebenarnya sudah sangat dekat, perkiraan perjalanan paling tidak hanya membutuhkan 5 menit saja sudah sampai.
Singkatnya, hujan pun reda pada pukul 16.15 WIB. Secara perlahan, saya melanjutkan perjalanan ke lokasi tujuan hingga akhirnya sampai. Lebih dari 30 menit di sana. Merasa informasi sudah cukup terhimpun, saya pun kembali ke rumah di Jalan Pekan Arba, Parit 12, Tembilahan.
Keesokan harinya, Senin (23/11/2020) data ini saya bawa ke Juru Bicara Satgas Percepatan Penanganan Covid-19 Kabupaten Inhil, Trio Beni Putra. Dia juga menjelaskan sesuai dengan edaran dari Menteri LHK.
“Edaran kebijakan dari pusat ini sudah berlaku sejak Maret 2020 lalu sampai dengan waktu yang tidak ditentukan, yaitu hingga keadaan tertentu darurat bencana wabah penyakit akibat Virus Corona di Indonesia ini dicabut,” jelasnya.
Tidak putus sampai di sini, saya mencoba mengonfirmasi ke Dinas Kesehatan Kabupaten Inhil. Pada hari Rabu (25/11/2020), pihaknya menyatakan bahwa upaya pemusnahan limbah medis sudah dilakukan dengan maksimal oleh rumah sakit dan puskesmas. Hanya saja, ada yang menggunakan insinerator dan ada juga secara manual.
Hal itu disebabkan terbatasnya ketersediaan alat pendukung. Insinerator misalnya, sampai detik ini hanya ada 1 unit yang ditempatkan di Islamic Center, Jalan Pendidikan, Tembilahan.
“Untuk sementara, insinerator hanya menampung limbah dari RSUD Puri Husada, Puskesmas Gadjah Mada, Puskesmas Tembilahan Kota, dan Puskesmas Tembilahan Hulu. Karena contact traking 4 pelayanan kesehatan ini adalah tertinggi,” ucap Kasi Kesehatan Lingkungan (Kesling), Fitrianto.
Jikapun secara manual, limbah masker khususnya, dia memastikan sudah dalam keadaan terpotong serta disemprot dengan cairan disinfektan.
Dengan demikian, dia meyakini bahwa limbah yang mencemari TPA Sungai Beringin bukanlah bersumber dari rumah sakit atau puskesmas. Begitu juga dengan botol infus tanpa dilengkapi selang dan jarumnya, dapat dipastikan tidak dari layanan kesehatan.
Bahkan katanya, untuk layanan kesehatan swasta sekalipun, seperti klinik dan apotek, pihaknya mengaku secara berkala telah memberikan edukasi serta melakukan sosialisasi perihal pengelolaan limbah tersebut.
“Ini adalah perilaku masing-masing. Untuk itu, kami mengajak bersama-sama mengelola limbah ini dengan baik dan benar,” himbaunya.
DLHK Inhil sendiri memastikan, selama ini, limbah medis Covid-19 yang ada di RSUD Puri Husada tidak pernah dibuang ke TPA. Bahkan petugas DLHK tidak pernah menerima sampah dari limbah tersebut.
“Kalau limbah itu, termasuklah obat-obatan dan jarum suntik. Mereka (RSUD, red) hancurkan pakai alat Insinerator sendiri,” kata Kasi Penanganan TPA, Syafnida.
Pada intinya, disamping melakukan penegakan disiplin protokol kesehatan, limbah medis ini juga termasuk salah satu objek yang tidak luput dari perhatian pemerintah demi memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Jika menyimak dari Edaran Menteri LHK tadi, maka sifatnya adalah kegotong-royongan yakni kewajiban bersama dalam mengelola limbah Covid-19, baik petugas medis itu sendiri maupun masyarakat umum. Apalagi saat ini, masker sekali pakai sudah terjual bebas di pasaran dengan harga cenderung murah. Kalau bukan dengan kesadaran masing-masing, lantas mau sampai kapan masa pandemi ini kita rasakan. Red/MRC