Selama ini Desa Sungai Bela menyimpan potensi alam cukup tinggi yang dapat menambah objek wisata Kabupaten Inhil
Porospro.com - Empat orang dari keturunan Suku Duanu berselancar di permukaan lumpur. Masing-masing menempati 2 keping papan yang sudah didesain melekat rapat. Ukuran panjangnya kira-kira 2 meter.
Hebatnya mereka ini berada di posisi dan gerakan yang sama, yakni kedua tangan bertelapak, satu kaki berlutut, dan kaki satunya lagi difungsikan untuk mendayung. Tidak peduli terik matahari, mereka tetap bolak-balik menghadap segala arah.
Pemandangan itu sontak membuat wisatawan terpana. Yang tadinya sibuk mengabadikan momen pribadi berhenti sejenak. Mereka berbondong-bondong memadati sisi Pantai Terumbu Mabloe di Desa Sungai Bela, Kecamatan Kuindra, Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Riau. Bahkan sebagian dari mereka turut berselancar.
"Itulah yang namanya menongkah. Cara orang kami mencari kerang," kata Ketua Ikatan Keluarga Duanu Riau (IKDR) Kabupaten Inhil, Hasanuddin saat memperkenalkan kepada wisatawan dari kalangan jurnalis Inhil saat momen Hari Pers Nasional (HPN), Selasa (09/02/2021).
Ya, menongkah kerang merupakan salah satu tradisi unik yang dimiliki keturunan 'orang laut'. Jika dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti menongkah adalah memasang papan di tempat yang becek. Makanya tradisi tersebut sudah melekat sekali kepada ras melayu tua itu.
Posisi Terumbu Mabloe di Tanjung Bakung ini sangat diuntungkan. Sebab berdempet langsung dengan lokasi menongkah yang luasnya lebih kurang seperti lapangan sepak bola. Hari ini, tradisi tersebut diagungkan sebagai sarana rekreasi untuk para pelancong.
Sebenarnya puncak Terumbu Mabloe sendiri bukanlah lumpur. Pantai sana penuh dengan serasah kulit Kerang dan sejenisnya. Serasah ini tertimbun secara alami layaknya pasir Pantai Solop di Pulau Cawan.
Kawasan lumpur bagian pesisir timur Sumatera ini ternyata juga menyajikan keindahan flora. Berbagai macam jenis pohon hutan tertata secara alami, umumnya pohon Pedada, Perepat, dan Avicennia atau lebih dikenal dengan sebutan Kayu Api-api.
Menurut Hasan, sapaan akrab Hasanuddin, hutan khusus kawasan tersebut terbentang luas hingga 2 hektar mengarah ke daratan. Menariknya, pepohonan ini rimbun kembali ke menanjung setelah menyisakan sedikit lahan untuk Terumbu Mabloe. Sehingga, penataan alam yang membatasi pandangan ke laut lepas ini bener-benar menyajikan pesona mangrove.
Dia bercerita, inspirasi pengembangan ekowisata itu bermula saat dirinya masih menjabat sebagai Kepala Desa Sungai Bela pada periode kedua, yakni antara tahun 2009 sampai 2013. Pria asli keturunan Suku Duanu ini tiba-tiba saja merasakan sesuatu yang berbeda dari objek tersebut.
Tidak menunda-nunda lagi, dia pun segera menemui beberapa tokoh masyarakat setempat. Bermodal perencanaan pengembangan seadanya, pantai pun diberi nama Terumbu Mabloe.
"Kalau tidak salah saya, tahun 2010 inspirasi ini muncul," ucapnya sambil mengingat-ingat kembali. Waktu itu belum tereksplor ke luar. Sebab belum ada upaya pengembangan selain memberi nama tadi. Bahkan sempat vakum beberapa tahun.
Hari ini, sosok Hasan yang diamanatkan menduduki 'kursi' legislatif di Kabupaten Inhil membuatnya kembali bergairah meneruskan impian lama.
"Pastinya kita berupaya mengembangkan. Jika perkembangan pantai ini meningkat, saya yakin perekonomian masyarakat Suku Duanu akan meningkat, atau bahkan seluruh masyarakat Sungai Bela dan sekitarnya juga akan ikut merasakan," katanya dengan penuh keyakinan.
Jika dilihat kondisi sekarang, sudah pasti ada kemajuan karena telah memiliki banyak spot. Termasuklah dermaga dan gazebo mini. Meskipun semuanya masih terbentuk sederhana dari kayu.
Selaku inisiator, Hasan sudah berfantasi macam-macam. Seperti adanya tracking menongkah, dermaga beton, dan akses jalan ke pusat pemukiman warga Desa Sungai Bela.
Tidak hanya itu, beberapa fasilitas yang dinilai tidak kalah penting lainnya juga selalu membisiki Hasan. Terutama Homestay dan spot memancing.
Sebagaimana diketahui, perairan Sungai Bela ini memang dikenal kaya akan alam lautnya. Berdasarkan catatan dari Kantor Desa setempat, tidak kurang dari 20 jenis ikan yang bisa didapat di sana. Jumlah itu belum termasuk hewan sejenis siput, seperti kerang, kepiting, udang, dan sebagainya.
Pada intinya, destinasi wisata Terumbu Mabloe saat ini benar-benar eksotis. Cukup merekomendasi untuk dinikmati. Baik dari sisi pesona alam maupun nilai-nilai budaya warga tempatan.
Filosofi Terumbu Mabloe
Berdasarkan KBBI, arti Terumbu sudah jelas dangkalan di laut yang tidak terlalu luas, atau sering kelihatan apabila air surut. Benar adanya, Pantai Terumbu Mabloe akan hilang jika air laut sedang pasang. Para wisatawan hanya dapat menikmati dikala surut. Jadwalnya tidak menentu, bisa pagi, bisa sore, bahkan bisa malam.
Sedangkan untuk Mabloe, sampai hari ini belum ada KBBI berilis makna yang tersurat. Wajar saja, Mabloe atau Mablu jika dibaca, adalah kosa kata asli dari Suku Duanu yang artinya Sungai Bela.
Jika ada yang berpendapat Suku Duanu baru berkembang-biak kemarin sore, maka dapat dipastikan keliru. Sebab nyatanya, suku yang termasuk kategori Komunitas Adat Terpencil (KAT) di Riau ini sudah lahir sejak zaman batu.
Hal ini dibenarkan oleh salah seorang tokoh Suku Duanu, Sarpan dan selaras dengan catatan Dinas Pariwisata, Pemuda, Olahraga, dan Kebudayaan (Disparporabud) Kabupaten Inhil dalam Tabloid 'Inhil Nan Molek'.
Makanya, kata Mabloe di Pantai itu sengaja ditulis dengan ejakan warisan masa kolonial yang pernah digunakan di Republik ini, yaitu Ejaan Van Ophuijsen sebagai tanda keberadaan Duanu sudah lahir sejak dahulu kala.
Dari catatan sejarah, Suku Duanu sudah berkembang pada tahun 2500 SM sampai dengan 1500 SM. Mereka tinggal di pinggiran pantai Kabupaten Inhil. Dan tradisi menongkah tadi, kala itu mereka sudah melakukannya dalam kehidupan sehari-hari.
Tidak ada pedoman khusus untuk kata Duanu. Sebab dalam catatan Wikipedia, maka yang muncul adalah 'Duano' yakni satu jenis bahasa yang digunakan orang kuala yang persebarannya meliputi pesisir timur Provinsi Riau, Kepulauan Riau bagian barat, dan sebagian pesisir barat Johor, Malaysia. Bahkan Wikipedia juga merilis kata 'Duano' sebagai jenis suku yang terletak di Tanjung Solok, Kecamatan Kuala Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi yang berpusat di Jalan Trio Perkasa.
Lain Wikipedia, lain pula KBBI. Dalam catatan kamus yang dipedomani masyarakat Indonesia ini hanya terdapat kata 'Duane' artinya instansi pemerintah yang bertugas di pelabuhan udara atau laut untuk menyelenggarakan dan mengawasi semua urusan yang berhubungan dengan bea cukai. Sejauh pengetahuan Sarpan, kata 'Duane' diambil dari Bahasa Belanda yakni Douane yang artinya penjaga laut.
Kenyataannya memang benar. Pada masa kerajaan, masyarakat Suku Duanu ini difungsikan sebagai penjaga laut. "Mereka diberi kewenangan untuk menjaga pesisir pantai oleh raja. Salah satu contoh di wilayah kita adalah Kerajaan Indragiri," cerita Sarpan.
Maka dari itu, slogan Pantai Terumbu Mabloe digaungkan dengan kalimat 'Piak Duanu Lap Ne Dolak', artinya tak kan Duanu hilang di laut. Apalagi jumlah populasi Suku Duanu saat ini sudah menyebar lebih kurang 17 ribu jiwa di Kabupaten Inhil. Terutama di wilayah pesisir seperti Kecamatan Kuindra, Kecamatan Concong, dan Kecamatan Tanah Merah.
Respon Baik dari Pemerintah
Kepala Disparporabud Kabupaten Inhil, Junaidy Ismail saat turun langsung ke lokasi mengaku tertarik untuk mengembangkan kawasan tersebut. Hal itu dikarenakan adanya potensi dari lumpur.
Dia berkeyakinan, potensi kawasan berlumpur mampu dikombinasikan dengan hutan di sekelilingnya, sebab itu dinilai dapat menjadi daya tarik baru bagi pelancong untuk berekreasi.
"Setelah melihat potensi yang ada, bagi kita di sektor pariwisata juga akan mengembangkan Pantai Terumbu Mabloe ini dalam satu konsep Ekowisata kawasan pesisir yakni mulai dari Pantai Solop, Pantai Bidari, dan pantai ini," katanya.
Dengan demikian, dalam waktu dekat dia akan merancang Masterplan dan Detail Engineering Design (DED) Pantai Terumbu Mabloe.
"Berkaitan itu tentunya kita akan merancang kawasan ini sedemikian rupa, sehingga bisa lebih menarik lagi yang tentunya memberikan kenyamanan, keindahan, dan kemudahan bagi para pengunjung," paparnya.
Ketua DPRD Kabupaten Inhil, H Ferryandi juga menyatakan hal yang serupa. Bahkan dia mengaku takjub dengan adanya spot menongkah. Tradisi itu dinilainya suatu permainan yang sangat menarik untuk dilestarikan.
"Nanti kita masukkan dalam rencana induk pengembangan wisata Kabupaten Inhil," janjinya.
Akses Wisatawan Cukup Mudah
Posisi objek wisata itu cukup dekat dengan pusat perkampungan Sungai Bela. Menurut perkiraan Pemdes setempat, jarak dari sisi pemukiman lebih kurang 500 meter. Hanya saja, akses daratan belum memungkinkan dikarenakan terkendala kondisi infrastruktur jalan dan jembatan.
Untuk sementara waktu, satu-satunya akses adalah menggunakan transportasi laut kurang dari 5 menit dari dermaga utama Desa Sungai Bela.
Untuk wisatawan dari Tembilahan, jarak tempuh agar sampai ke sana hanya membutuhkan estimasi waktu 1 jam saja dengan menggunakan Speedboat sebagai angkutan jalur laut. Sarana transportasi ini merupakan tujuan khusus Tembilahan-Sungai Bela. Biayanya hanya Rp60 ribu/orang.
Sarana transportasi ini ada 3 sesi pemberangkatan dalam sehari. Sesi pertama berangkat pada pukul 12.00 WIB, sesi kedua berangkat pada pukul 14.00 WIB, dan sesi terakhir berangkat pada pukul 16.00 WIB. Artinya, wisatawan bisa berekreasi di Pantai Terumbu Mabloe tanpa menginap.
Kemudian bagi wisatawan dari Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Sarana transportasi yang digunakan juga sama dari jalur laut. Jarak tempuhnya pun juga tidak begitu jauh. Estimasi perjalanan antara 3 sampai 4 jam saja.
Sedikit berbeda bagi wisatawan dari Kota Pekanbaru. Sebab mereka harus menggunakan dua sarana transportasi yang berbeda. Sebelum berpindah ke sarana transportasi jalur laut tadi, mereka diharuskan menggunakan mobil terlebih dahulu. Sarana ini adalah angkutan jalur darat tujuan Pekanbaru-Tembilahan dengan estimasi perjalanan lebih kurang 7 jam, biayanya Rp150 ribu/orang. red
Video