Porospro.com - Ribuan masyarakat dari berbagai daerah tumpah ruah berdatangan pada haulnya yang diselenggarakan setiap tahun.
Tidak hanya dari berbagai pelosok kampung di Inhil, jemaah yang datang juga berasal dari sejumlah kabupaten di Riau seperi Indragiri Hulu, dan Pekanbaru. Bahkan jamaah yang datang dari pulau Kalimantan bahkan luar negeri seperti Malaysia dan Singapura.
Melihat tingginya antusias masyarakat yang datang pada acara yang rutin digelar setiap tahun, tentu anda bertanya-tanya, siapa Syekh Abdurrahman Siddiq yang biasa disapa Tuan Guru Sapat?
Ketua Yayasan Syekh Abdurrahman Siddiq, Dr. H M Ali Azhar Mahmud mengungkapkan, Tuan Guru Sapat mempunyai nama lengkap Syekh Abdurrahman Siddiq bin Muhammad Afif bin Mahmud bin Jamaluddin al-Banjari. Ia dilahirkan di Kampung Dalam Pagar, Martapura, Kalimantan Selatan, pada tahun 1284 Hijriah atau tahun 1857 Masehi.
Ayahnya bernama Muhammad Afif bin Kadhi H. Mahmud yang berasal dari keturunan kaum bangsawan karena leluhurnya adalah keturunan sultan-sultan dari kerajaan Banjar. Sedangkan ibunya bernama Shafura, cucu Syeikh Muhamad Arsyad bin Abdullah Al-Banjari (1122-1227 H), seorang ulama besar Indonesia pada abad ke-18 M.
Syekh Muhammad Arsyad selain dikenal sebagai ulama beliau juga dikenal sebagai pengarang kitab-kitab Agama Islam yang kebanyakan ditulis dalam bahasa Melayu. Salah satu buah karyanya yang paling terkenal adalah kitab Sabil al-Muhtadin, sebuah kitab fikih.
Mengenai pertalian nasabnya dengan Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari itu, Syekh Abdurrahman Siddiq menjelaskannya dalam kitab yang ditulisnya sendiri yakni Syajarah al-Arsyadiyyah wa ma Ulhiqa Biha. Di dalam kitab ini disebutkan bahwa ibu Syekh Abdurrahman Siddiq bernama Shafura adalah anak dari hasil perkawinan antara Syekh H. Muhammad Arsyad dengan Ummu Salamah.
Dan Syekh H. Muhammad Arsyad ini adalah putra Mufti H. Muhammad As'ad. Ibu dari disebutkan namanya terakhir ini bernama Syarifah, anak Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari. Dengan silsilah itu diketahui bahwa Syekh Abdurrahman Siddiq adalah cicit dari ulama besar asal banjar tersebut.
"Tidak seperti anak-anak lainnya yang sempat dibesarkan oleh Ibu kandung mereka sendiri, Abdurrahman demikian nama Syekh ini sewaktu masih kecil, hanya diasuh dan dibesarkan oleh bibinya bernama Sa'idah," ujar Ali Azhar.
Keadaan ini terpaksa dialami Abdurrahman karena ibunya wafat ketika ia masih berumur sekitar dua bulan. Walaupun demikian, Abdurrahman boleh dikatakan beruntung karena ia diasuh dan dibimbing oleh wanita terdidik dan cendikia seperti Sa'idah yang memang dikenal sebagai seorang alimah pada masa itu terutama di daerah Banjar.
Ke-aliman bibinya itu benar-benar bermanfaat dalam mengantar Abdurrahman kepada pertumbuhannya baik fisik maupun mentalnya, terutama pada umur-umurnya di bawah lima tahun yang merupakan masa-masa yang paling sensitif bagi pertumbuhan seorang anak. Ia dididik oleh adik ibunya itu dalam suasana keagamaan dan penuh dengan rasa kekeluargaan.
Menurut Akademisi sekaligus Tokoh Agama Inhil, Ali Azhar mengatakan, pada usia yang sangat dini, Syekh Abdurrahman Siddiq telah mulai belajar Al-Quran langsung dari bibinya. Berkat kesungguhan dan kecerdasannya serta didukung oleh ketabahan bibinya dalam mengajar dan membimbingnya, pada usia delapan tahun ia dapat mengkhatamkan Al-Quran.
Abdurrahman kemudian dimasukan oleh bibinya itu ke pesantren di Pagar Dalam, Martapura, yang waktu saat itu diasuh oleh H. Abdussamad. Tapi tanpa diketahui sebabnya yang pasti, ia keluar dari pesantren tersebut setelah belajar lebih kurang selama dua tahun.
Kemudian ia memilih belajar secara private dengan pamannya bernama Abdurrahman Muda yang mahir dalam bahasa arab. Meskipun belajar dengan pamannya kurang terjadwal, namun ilmu yang diperolehnya cukup memadai sebagai dasar baginya untuk melanjutkan belajarnya ketingkat yang lebih tinggi.
"Atas anjuran pamannya, ia selanjutnya belajar secara teratur dengan seorang ulama terkemuka di Martapura bernama Said Wali. Dengan ulama ini ia benar-benar belajar dengan tekun selama empat tahun sehingga boleh dikatakan mahir membaca dan memahami kitab-kitab kuning, suatu tingkat kemahiran yang setara dengan tamatan pesantren lazimnya," terang Ali Azhar.
Belum puas akan ilmu yang dimilikinya, Syekh Abdurrahman Siddiq memilih kembali merantau menuju tanah Arab. Syekh Abdurrahman Siddiq melanjutkan pencarian ilmunya ke Mekkah dan berangkat pada tahun 1887.
Di kota Mekkah, beliau banyak menghadiri majelis ilmu ulama Hijaz yang terkemuka diantaranya, Syekh Mufti Said Zaini Dahlan, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Bahri Shatho, dan Syekh M. Said Babasil.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga dan Kebudayaan (Disparporabud) Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Junaidy, S.Sos., M.Si mengatakan, ketika belajar di Mekkah ini beliau mendapatkan gelar Siddiq dari gurunya dan resmilah nama beliau menjadi Abdurrahman Siddiq. Tidak hanya di Mekkah, Syekh Abdurrahman Siddiq juga banyak mengikuti halaqah-halaqah ilmu di Masjid Nabawi.
"Hal ini dilakukan beliau selama tujuh tahun lamanya. Karena ketinggian ilmunya, Syekh Abdurrahman Siddiq diangkat menjadi pengajar di Masjidil Haram," ungkap Junaidy, Selasa (09/03/2021).
Tuan Guru Syekh Abdurrahman Siddiq pada tahun 1303 H berprofesi sebagai seorang guru, di sela-sela waktu dimanfaatkan berdikari sendiri menjadi tukang emas permata yang jujur. Dari kepandaiannya tersebut pada tahun 1305, sang Syekh berlayar menuju Sumatera, Padang Panjang, Pulau Bangka dan Palembang sekitarnya.
Syekh Abdurrahman, Mufti dari kerajaan Indragiri tinggal di Sapat Indragiri Hilir mulai tahun 1326 H atau 1908 M. Dan mulai menyebarkan agama islam hingga akhir hayatnya pada usia 83 tahun yang menurut kalender Hijriyah usia beliau sekitar 78 tahun. (Adv)