Porospro.com - Dari Tembilahan untuk menuju pelabuhan Hidayat menggunakan speedboat selama ± 1 jam atau menggunakan perahu pompong selama ± 2 jam. Dari pelabuhan Hidayat, lokasi tidak terlalu jauh dan dapat dicapai dengan menggunakan kendaraan roda dua.
Berdasarkan situs Kemdikbud.go.id, Syeikh Abdurrahman Shiddiq Bin Syekh M. Afif Al Banjari (1857-1939) atau lebih dikenal dengan sebutan “Tuan Guru Sapat” adalah salah seorang ulama kharismatik dari Kerajaan Indragiri di masa lalu (awal abad XX M).
Tuan Guru Sapat berasal dari daerah Banjar (Kalimantan) dan mempunyai hubungan genetis dengan ulama terkenal Banjar, Syeikh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1710-1812).
Semasa hidupnya, Tuan Guru Sapat memerankan dirinya sebagai seorang ulama yang menjadi ikon penting dalam proses penyebaran dan penyelenggaraan pendidikan Islam, khususnya di daerah Indragiri Hilir.
Tuan Guru Sapat adalah seorang ulama yang menggabungkan beberapa kemampuan sekaligus, mulai dari seorang pendakwah, pengajar, mufti, penulis, sampai sebagai seorang petani kebun yang berhasil.
Oleh karena kiprah dan peranannya yang besar tersebut, tidak aneh jika riwayat hidup dan pemikiran Tuan Guru Sapat sudah sering menjadi objek penulisan, baik dalam bentuk penelitian akademis, mulai dari tingkat skripsi (S1) sampai disertasi (S3), maupun penulisan populer.
Abdurrahman dilahirkan oleh Safura binti Syekh Muhammad Arsad pada tahun 1875 di Kampung Kecil (Dalam Pagar) Martapura, Kalimantan Selatan. Beliau dilahirkan pada masa pemerintahan Sultan Adam Al-Watsiq Billah bin Sultan Sulaiman Yang memerintah di Kerajaan Banjar sejak tahun 1825-1857 M.
Syekh Abdurrahman Siddiq adalah penerus generasi ke-5 dari Al-Arif Billah Maulana Syekh H. Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-Banjari yang kakeknya merupakan cucu dari seorang mubaligh yang datang dari Magribi ke Filipina yang mendirikan kerajaan Islam di Mindano yang bernama Sayyid Abdullah.
Pada usia satu tahun, ibundanya tiada dan Abdurrahman diasuh oleh Siti Saidah dan Ummi Salamah yang merupakan bibinya.
Pada usia sembilan tahun Sang Syekh mulai menguasai ilmu-ilmu dasar: ilmu saraf, ilmu nahu (ilmu alat), bahkan ilmu kalam dan ilmu lainnya dengan berguru kepada Zainuddin, berasal dari hulu sungai selatan (Kandangan) yang saat itu mengajar di pondok pesantresn di Kampung Dalam Pagar.
Beranjak remaja, sekitar tahun 1297 H, Sang Mufti terus mempelajari pondasi keilmuan agama: ilmu syariah (fiqih), ilmu aqidah (tauhid), ilmu akhlak (tasawuf) dan ilmu hadis.
Bidang keilmuan ini beliau tuntun pada Al-Amin Al-Allahamah Syekh H. Hasyim dan Al-Alim Al-Allamah Syekh Muhammad Said Wali. Setelah berguru, tahun 1302 H beliau terjun dan berdakwah dalam menyiarkan Islam di berbagai wilayah Kalimantan.
Pada tahun 1303 H disela menyebarkan agama, beliau bertukang emas permata. Dari kepandaiannya tersebut itu, di tahun 1305 H Syekh Abdurrahman berdagang permatan dan berlayar hingga ke pulau Sumatera, Padang Panjang, Pulau Bangka juga Palembang
Pada tahun 1310 H, dari Sumatera beliau menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji serta menuntut ilmu agama. Selama di Mekah beliau berguru kepada Masyaaih yang mengajar di Masjidil Haram dan sekitar Makah pada waktu itu, antara lain: Sayyid Bakri Syatta, Al-Alimul Fadhil Syekh Ahmad Dimyathi, Al-Alimul Fadhil Syekh M. Babashil Mufti Syafii, Al-Alimul Fadhil Syekh Umar Sambas, dan banyak guru lainnya yang membuat beliau mendapat syahada dari berbagai ilmu.
Adapun semasa menuntut ilmu beliau berkawan dengan sejumlah sahabat dari Indonesia dan Malaysia: Syekh Jamil Jambek (Minangkabau), Syekh Ahmad Khatib (Minangkabau), Syekh Muhammad Sayuti (Singkang), Syekh Muktar (Bogor), dll. Karena kecerdasannya beliau dinobatkan untuk mengajar di Masjid Al-Haram Mekah.
Pada tahun 1310 hasrat besar untuk memulai berjuang di jalan agama membuatnya hijrah ke Pulau Jawa dan Sumatera, sampailh di kampung Mentok, Pulau Bangka, di mana sang ayah telah lama menetap lebih awal di pulau tersebut. DI Bangka, selain berdakwah ia pun berkebun cengkeh, karet, dan kelapa. Bahkan di sela waktunya ia sempatkan untuk menulis kitab-kitab. 18 tahun di Bangka Belitung beliau berpindah ke Pulau Mas Sapat sekitar tagun 1320 H.
Selain berjuang dalam hal agama, beliau juga berjuang untuk kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 – 1949. Pada tahun 1327 H, Sultan Mahmusyah melantik Syekh Abdurrahman Siddiq sebagai mufti kerajaan Indragiri.
Makam Syeikh Abdurrahman Siddiq terdiri dari sebuah jirat dengan dua buah batu nisan yang terletak di bagian kaki dan kepala jirat. Makam ini terletak pada sebuah bangunan cungkup yang dibuat kemudian (2004). Selain makam Syekh Abdurrahman Shiddiq, di dalam bangunan ini juga terdapat dua buah makam lainnya.
Jirat makam Syekh Abdurrahman Shiddiq berbentuk persegi panjang bertingkat tiga dengan ukuran tingkat paling bawah panjang 2 m dan lebar 1,7 dan setiap tingkatnya berjarak 0,25 m. Tinggi dari lantai dasar ke jirat paling tinggi sekitar 1,15 m. Jirat ini terbuat dari bata berlepa yang dilapisi dengan keramik berwana putih.
Jirat ini merupakan bangunan baru yang dibuat kemudian bersamaan dengan pembangunan cungkup makam pada tahun 2004. Pada sekeliling jirat diberi pagar berbentuk jeruji besi yang ditutup dengan tirai.
Sementara itu, nisan makam Syeikh Abdurrahman Shiddiq berbentuk balok dengan kepala nisan berbentuk kubah atau kuncup bunga. Nisan ini terbuat dari batu berukuran tinggi 50 cm.
Nisan pada kepala jirat terdapat inskripsi yang diukir pada lempengan batu marmer yang ditempel pada bagian badan nisan. Inskripsi tersebut memuat identitas orang yang dimakamkan (Syeikh Abdurrahman Siddiq) beserta waktu wafatnya (4 Sya’ban 1358 H).
Adapun bangunan cungkup makam berdenah segi delapan (oktagonal) yang masing-masing sisinya berukuran panjang 3 m. Bangunan ini terbuat dari bata berlepa dengan atap berbentuk tumpang tiga yang terbuat dari seng. (Adv)