Porospro.com - Siapa yang tidak mengenal Syekh Abdurrahman Siddiq, ulama Banjar yang bermakam di Kampung Hidayat, Kecamatan Kuala Indragiri (Kuindra), Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), Provinsi Riau.
Hebatnya, sejak dahulu, ummat Muslim dari berbagai penjuru tak henti-hentinya melakukan ziarah ke sana. Bahkan, haul akbar saban tahun yang didukung penuh oleh Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga, dan Kebudayaan (Disparporabud) Kabupaten Inhil itu selalu dipadati oleh kaum Muslimin.
Nah, tahukah kamu biografi Syekh Abdurrahman Siddiq ini? Bersumber dari naskah hasil karya Tim Penulis LP2M UIN Antasari Banjarmasin dan MUI Provinsi Kalimantan Selatan yang ditayangkan di website Alif.id. Syekh Abdurrahman Siddiq dilahirkan di Dalam Pagar, Martapura yang terletak sekitar 45 kilometer dari ibu kota provinsi Kalimantan Selatan, Banjarmasin, pada tahun 1276 H/1859 M. Beliau adalah keturunan dari Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Silsilah Syekh Abdurrahman Siddiq hingga Syekh Muhammad Arsyad melalui jalur ibu adalah sebagai berikut: Syekh Abdurrahman Siddiq bin Safura binti Mufti Syekh Muhammad Arsyad (Kubah Pagatan Kabupaten Tanah Bumbu) bin Mufti Syekh Muhammad As’ad binti Syarifah binti Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Sedang silsilah dari ayah adalah sebagai berikut: Syekh Abdurrahman Siddiq bin Muhammad Afif (Datu Landak) bin Mahmud bin Kyai Dipa Santa (Ahmad) keturunan Pangeran Diponegoro. Jadi Syekh Abdurrahman Siddiq ini adalah keturunan dua orang tokoh besar penyebar agama Islam di Indonesia, yaitu Pangeran Diponegoro dan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari.
Syekh Abdurrahman Siddiq memulai pendidikannya dengan menimba ilmu dasar-dasar agama Islam pada bibinya, Siti Saidah, seperti membaca Alquran dan ilmu fikih. Sedangkan guru beliau yang pertama kali dalam ilmu Alat (tata bahasa Arab) adalah Masri (seorang santri yang menuntut ilmu agama di Dalam Pagar Martapura). Adapun guru-guru Syekh Abdurrahman Siddiq di Dalam Pagar antara lain, Tuan Guru Muhammad Said Wali, Tuan Guru Muhammad Khatib, dan Tuan Guru Abdurrahman Muda.
Ketika usia Syekh Abdurrahman Siddiq menanjak dewasa, beliau memutuskan berangkat ke Mekkah untuk lebih memperdalam ilmu agama. Di Mekkah beliau berguru kepada beberapa ulama besar pada masa itu, di antaranya Syekh Bakri Syaththa (pengarang kitab I’anatut Thalibin), Syekh Ahmad Dimyati, Syekh Ahmad Bafadhil, Syekh Ahmad bin Zaini Dahlan (Mufti Syafi’iyah), Syekh Sayyid Bahasyil, Syekh Nawawi bin Umar Al-Bantani, dan Syekh Umar Sambas.
Selain berguru secara formal kepada guru-guru terkemuka di Masjidil Haram, beliau juga banyak berguru pada ulama-ulama sufi dan fuqaha di kota Mekkah. Karena itu tak heran, jika beliau banyak berkarya di bidang ilmu tasawuf, tauhid dan fikih. Di antara gurunya yang banyak memberikan dorongan dan bimbingan adalah Syekh Sayyid Bakri Shaththa’, Syekh Sayyid Bahasyil dan Syekh Nawawi bin Umar Al-Bantani.
Setelah belajar di Mekkah selama lebih kurang lima tahun, Syekh Abdurrahman Siddiq dianugerahi oleh gurunya (Syekh Sayyid Bakri Syaththa’, gelar As-Shiddiq, dan diminta agar disebutkan di akhir namanya. Dapat diduga pemberian gelar ini berhubungan dengan penguasaan beliau dalam ilmu Islam yang ditekuninya serta akhlak beliau yang terpuji. Kendati mendapat pengakuan dari gurunya di Mekkah, beliau tetap melanjutkan pelajaran, menuntut ilmu di Madinah. Beberapa teman seperjuangan Syekh Abdurrahman Siddiq sewaktu sama-sama belajar di Mekkah antara lainSyekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Ahmad Dimyati (Mufti Mekkah), Syekh Abdullah Zawawi, Syekh Said Al-Yamani, Syekh Abdul Qodir Mandailing, Syekh Umar As-Sumbawi, Syekh Awang kenali (Kelantan, Malaysia), Syekh Hasyim Asy’ari (Tebuireng, Jombang) pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama, Syekh Jamil Jaho (Sumatera Barat), Syekh Ali Junaidi Berau (Kalimantan Timur), dan Syekh Sulaiman Ar-Rasuli (Bukit Tinggi).
Selama kurang lebih tujuh tahun lamanya Syekh Abdurrahman Siddiq bermukim di Mekkah dan Madinah, yaitu lima tahun menimba ilmu dan dua tahun mengajar Tauliyah di Masjidil Haram, muncul keinginan untuk kembali ke kampung halaman untuk menyebarkan ilmu yang sudah didapat. Setelah mendapat izin dan restu dari guru-guru beliau di Mekkah, maka sekitar tahun 1316 H beliau pulang ke Indonesia bersama salah seorang teman, yakni Syekh Ahmad Khatib Minangkabau.
Sesampainya di Batavia (Jakarta), keduanya berpisah menuju daerah masing-masing. Syekh Ahmad Khatib menuju Minangkabau Sumataera Barat, dan Syekh Abdurrahman Siddiq menuju Martapura, Kalimantan Selatan. Kedatangan beliau ini mendapat sambutan meriah dari kalangan masyarakat Banjar, lebih-lebih sanak famili dan keluarga beliau yang sudah cukup lama berpisah.
Setelah hampir satu tahun berada di Martapura, sekitar tahun 1317 H, Syekh Abdurrahman Siddiq hijrah ke Indragiri, kepulauan Riau. Beliau tinggal di Indragiri di sebuah kampung yang bernama Sapat (sekarang menjadi ibukota kecamatan Kuala Indragiri). Di kampung ini awalnya beliau membuka lahan perkebunan dan pertanian serta membuka irigasi untuk pengairan sawah-sawah. Selanjutnya banyaklah orang-orang yang berpindah ke kampung Sapat hingga penduduknya menjadi ramai. Di tempat ini kemudian Syekh Abdurrahman Siddiq membuka pengajian.
Nama Syekh Abdurrahman Siddiq sebagai seorang ulama akhirnya tersebar di segenap pelosok kerajaan negeri Indragiri bahkan sampai ke pulau Kalimantan, Jawa, Sulawesi dan Semenanjung Malaya. Hingga pada suatu hari, datanglah utusan dari kerajaan menemui beliau yang menyampaikan undangan agar beliau bersedia datang ke Istana Sultan Rengat. Di istana beliau disambut dengan penuh suka cita dan penuh persaudaraan oleh Sultan Rengat yang bernama Sultan Mahmud Syah. Dalam pertemuan itu Syekh Abdurrahman Siddiq diminta oleh Sultan agar bersedia menjadi mufti Kerajaan Indragiri. Awalnya, Syekh Abdurrahman Siddiq menolak tawaran itu, namun setelah berulang kali memohon dengan berbagai alasan dan pertimbangan serta demi kepentingan agama, maka permohonan Sultan itu akhirnya dikabulkan.
Jauh sebelum itu sebenarnya Syekh Abdurrahman Siddiq juga sudah diminta oleh Habib Utsman bin Yahya untuk menjadi mufti di Batavia (Jakarta) untuk menggantikan beliau. Begitu pula sewaktu beliau berkunjung ke Semenanjung Tanah Melayu, juga ditawari oleh Sultan Johor (Malaysia) untuk menjadi mufti di sana. Namun dengan sangat halus dan bijak kedua tawaran tersebut ditolak beliau. Pengangkatan Syekh Abdurrahman Siddiq sebagai mufti Kerajaan Indragiri yang pertama oleh Sultab Mahmud Syah yang bekedudukan di Rengat sejak tahun 1337. Beliau menduduki posisi terhormat dan mulia ini selama 20 tahun. Selama menjadi mufti beliau tetap mengajar para santri dan untuk kelangsungan pengajian dibangun mesjid dan sebuah rumah yang biasa disebut Rumah Besar.
Selama 20 tahun menjadi mufti Syekh Abdurrahman Siddiq tidak pernah mengambil atau menggunakan gaji dari jabatannya itu untuk kepentingan pribadi. Untuk memenuhi keperluan rumah tangga sekeluarga, beliau memanfaatkan hasil sawah dan kebun milik sendiri. Bahkan tak hanya itu, keperluan hidup para santri seluruhnya tiap hari, juga sepenuhnya ditanggung beliau sendiri.
Kelebihan Syekh Abdurrahman Siddiq bukan bukan hanya pada kehandalannya dalam berdakwah bil lisan maupun bil hal saja, tetapi juga pada kemampuannya dalam dakwah bil kitabah.
Dalam satu kesempatan, Syekh Abdurrahman Shiddiq berkunjung ke Martapura dan Banjarmasin. Tidak lama setelah kunjungan itu, setelah pulang ke Sapat Indragiri beliau sakit. Beliau menderita sakit beberapa hari lamanya, sehingga akhirnya pada hari Senin tanggal 10 Maret 1939 M beliau berpulang ke rahmatullah, kembali ke pangkuan Allah SWT dalam usia lebih kurang 82 tahun. Jenazah beliau dimakamkan di kampung Hidayat, Sapat Indragiri. Makam beliau banyak diziarahi kaum muslimin, baik dari daerah Indragiri khususnya maupun dari daerah-daerah lain pada umumnya. (Adv)