GARDAPOS.COM, PELALAWAN - Kata tumbal tentu tidak asing di telinga orang Indonesia, khususnya orang Melayu. Tumbal adalah persembahan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Tentu saja ‘perintah’ tumbal datang dari pemilik kuasa, sementara yang menjadi tumbal (korban) selalu orang yang tak berdaya. Tumbal pun menjadi keyakinan untuk kepentingan khalayak ramai. Seseorang yang ikhlas menjadi tumbal merupakan kesatria bagi pemilik kuasa, walaupun hak-haknya dibinasakan.
Dizaman kenan, tumbal-menumbal ini juga masih berlangsung untuk menutup atau menyelamatkan pemilik kuasa. Tak jarang, kesatria-kesatria muncul untuk menjadi tumbal dan tak jarang juga banyak yang dijadikan tumbal. Bagi yang ‘ikhlas’ menjadi tumbal tentu saja ada kesepakatan-kesepakatan yang diperbincangkan terlebih dahulu. Tumbal ‘penyelamat’ ini biasanya datang dari orang-orang terdekat atau saudara mara atau satu kelompok. Sementara tumbal yang ditumbalkan dengan cara ‘paksa’ selalu datang dari orang yang berlawanan arah dari pandangan penguasa atau mereka yang lugu membela penguasa.
Melihatfenomena zaman kenen yang berkaitan dengan tumbal-menumbal ini, pikiran Atah Roy melayang jauh. Atah Roy teringat kisah legenda Lancang Kuning yang dipentaskan kelompok sandiwara di kampungnya ketika Atah Roy kecil dahulu. Kisah legenda berasal dari Bukitbatu itu menyediakan ruang tafsir sampai zaman kini. Atah Roy menganggap bahwa tumbal untuk menurunkan perahu Lancang Kuning yang mengorbankan Siti Zubaidah adalah sebab peristiwa lain.
Peristiwapeseteruan untuk tampil lebih perkasa oleh Panglima Hasan. Panglima Hasan tidak mampu menandingi kehebatan Panglima Umar di segala bidang. Sebagai panglima, Hasan dikalahkan oleh Umar dalam memosisikan diri dekat dengan Datuk Laksemana. Panglima Umar mendapat tempat di hati Datuk Leksemana dengan ditandai begitu seringnya Panglima Umar menjadi utusan menegosiasi kepentingan Bukitbatu.
Dalampercintaan, Panglima Hasan juga dikalahkan oleh Panglima Umar. Siti Zubaidah, perempuan yang memiliki pesona dan memancarkan cahaya purnama itu, memilih melabuhkan hatinya ke dada Panglima Umar. Kehampaan dan merasa terkalahkan menjadi dendam yang membara. Segala jurus untuk menundukkan Panglima Umar selalu gagal dijalankan oleh Panglima Hasan. Ketika kekalahan semakin menganga, tak ada cara lain selain berlindung di balik kepentingan khalayak ramai dan kepentingan negeri. Panglima Hasan pun menyusun strategi untuk menghabiskan kebahagiaan Panglima Umar dengan menjadikan Siti Zubaidah tumbal untuk menurunkan perahu Lancang Kuning ke laut. Perahu Lancang Kuning menjadi simbol kejayaan negeri, dan orang-orang, termasuk Datuk Laksemana pun menyetujui Zubaidah menjadi tumbal.