Kisah Hantu dari Aceh ke Papua: Mirip dan Serupa, Namun Tak Sama

Kisah Hantu dari Aceh ke Papua: Mirip dan Serupa, Namun Tak Sama

Porospro.com - Indonesia terbilang memiliki koleksi cerita hantu yang sangat beragam, mulai dari hantu orang Bunian di Aceh hingga hantu burung yang disebut dengan Suanggi atau Swangi di Papua. 

Tak heran jika cerita hantu dan mitologi setiap daerah memiliki keistimewaan tersendiri.

Menurut Guru Besar Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada Heddy Shri Ahimsa-Putra, hal itu disebabkan oleh perbedaan lingkungan di masing-masing wilayah Indonesia.

"Jadi ada cerita-cerita [hantu] di daerah tertentu yang tidak kita temukan di daerah lain karena memang khas daerah itu sebagai hasil masyarakat berhubungan dengan lingkungannya dan pengalaman sejarah mereka," ujar Heddy.

Hal ini pula yang menyebabkan hantu orang Belanda banyak sekali di ditemukan di masyarakat Jawa, tapi jarang di daerah lain. Seperti di Surabaya yang memiliki banyak cerita horor hantu Belanda karena koleksi bangunan tua, sementara di Kalimantan tak ada kisah serupa, kata Heddy.

"Karena pengalaman sejarahnya berbeda, dan adaptasi lingkungan yang berbeda," ujar Heddy. "Karena proses peradaban Jawa kan sudah sangat panjang sehingga pengalaman sejarahnya lebih banyak,"

"Nah pengalaman sejarah yang lebih banyak ini menghasilkan cerita yang lebih banyak lagi. Kalau ke Papua enggak banyak cerita horor, yang banyak mitos-mitos, klan," katanya.

Lalu Heddy mencontohkan hantu leak. Menurut sejarah, leak berasal dari penganut Hindu di Jawa era Kerajaan Majapahit.

Setelah Kerajaan Majapahit runtuh pada 1478, penganut Hindu menetap di Bali dan cerita tentang Leak berkembang di Bali dan kini menjadi khas wilayah itu.

Kendati demikian, beberapa wilayah Indonesia juga dihuni oleh hantu-hantu yang serupa. Salah satunya hantu kuntilanak yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Salah satu versi sejarah menyebut hantu kuntilanak berasal dari kota Pontianak. Konon sejak masih berupa hutan, kota tersebut dihuni oleh kuntilanak.

Warga lokal sering menyebutnya dengan nama hantu puntianak yang merupakan singkatan dari perempuan mati beranak. Karenanya, kota itu lalu disebut dengan Pontianak.

Tak hanya di Pontianak, cerita tentang kuntilanak juga ditemui di tempat lainnya di Indonesia.

Heddy menyebutkan ada dua hal yang menyebabkan cerita hantu di Indonesia memiliki persamaan ciri satu sama lain.
Pertama, ada persamaan pengalaman. Heddy mengatakan mengapa cerita tentang hantu kuntilanak juga ada di tempat lain, karena cerita tentang perempuan yang meninggal saat melahirkan anak juga ada di tempat lain.

"Ini cerita yang umum, jadi cerita seperti itu dikenal di banyak tempat, jadi ada pengalaman di masyarakat yang kurang lebih sama, jadi itu menghasilkan cerita yang kurang lebih sama," ujar Heddy.

"Kedua, [karena] ada struktur berfikir yang sama, sehingga memunculkan kisah yang kurang lebih sama," kata Heddy.

"Pola struktur berpikir manusia dimana-mana kan sama sebenarnya, tetapi karena berinteraksi dengan lingkungan, maka menghasilkan sesuatu yang berbeda," lanjutnya.

Hal ini juga menyebabkan muncul hantu-hantu yang kurang lebih sama, namun memiliki nama yang berbeda. Seperti hantu Kuyang dari Kalimantan dan Palasik dari Sumatera yang sama-sama hantu pemakan bayi, tapi memiliki penyebutan berbeda.

Kendati demikian, Heddy mengatakan bahwa dibutuhkan studi komparatif untuk mengetahui lebih dalam tentang persamaan dan perbedaan hantu-hantu di Indonesia.

"Indonesia melihat suku bangsanya yang begitu kaya...tentu setiap suku punya cerita masing-masing...Memang ada persamaan, tapi tetap ada perbedaan," kata Heddy. "Mungkin kalau mau dikumpulkan akan sangat banyak."

Pendapat senada juga diungkap Anas Ahmadi dari Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya dalam penelitiannya yang terbit dalam buku Folklore Nusantara: Hakikat, Bentuk, dan Fungsi (2013) yang disunting oleh Dr Suwardi Endraswara, M.Hum.

Kisah hantu yang menjadi bagian budaya folklor atau ghostlore belum banyak disingkap oleh ilmu pengetahuan modern. Berdasarkan tulisan Anas, penelitian soal hantu di Indonesia hanya baru beberapa kali dilakukan.

Di antaranya adalah Geertz ([1960]2013) yang meneliti hantu di Mojokuto (Mojokerto), Danandjaja (1997) soal hantu dan kaitannya dengan legenda alam gaib, Endraswara (2004) soal dunia hantu di Jawa, Ahmadi (2006) soal hantu di Pulau Raas-Madura dan dibandingkan dengan hantu Jepang, Lee & Kathleen (2011) soal hantu-hantu Indonesia yang berkaitan dengan hantu Jawa, Hindu-Budha, dan pesugihan.

"Genre folklor hantu (ghostlore) di Indonesia sebenarnya sangat banyak, tetapi masih belum ada penelitian yang optimal tentang folklor hantu di Indonesia." tulis Anas Ahmadi.

Sumber: CNN Indonesia