Oleh: Ahmad Tamimi
Berapa banyak orang yang sholat, namun hanya mendapatkan rasa capek dan lelahnya saja.(HR. Abu Daud)
Kadang terbersit dipikiran, apa sesungguhnya manfaat shalat yang ku lakukan selama ini, terasa amat berat bahkan menjenuhkan. Komat-kamit gerakan yang dilakukan tanpa ada rasa membahagiakan hati, ketika shalat yang terpikir adalah ingin cepat-cepat mengakhirinya.
Ada pertanyaan yang sering terlontar dipikiran, kenapa shalatku terasa tidak nikmat?, kenapa shalat ku tidak bisa membahagiakan hati, apakah selama ini shalatku sudah direspon Allah atau belum. Aku khawatir, kebutuhan terhadap ritual shalat selama ini hanyalah karena kebiasaan yang sering dilakukan berulang-ulang hingga menjadi candu yang sulit untuk ditinggalkan, padahal bukanlah benar-benar menghadapkan wajahku ke-Allah.
Inilah beberapa pertayaan yang menjadi persoalan penting untuk kita diskusikan dalam pembahasan ini. Adapun tujuannya adalah untuk melihat kembali tentang ibadah sholat yang kita lakukan selama ini. Karena pada umumnya orang beranggapan bahwa sholat tidak perlu dievaluasi, yang berhak menilai hanyalah Allah, selaku manusia kita tidak layak untuk menilainya, semuanya urusan Allah, suka tidak suka kita harus sholat, hal ini tidak perlu dibahas lagi, kalau ditanya mengapa sholat? ia jawab: “biar tidak masuk neraka supaya masuk surga”, atau shalat itu wajib, kalau tidak dilaksanakan Allah akan marah. Inilah pemahaman yang terkesan agak teosentris yaitu seolah-olah Allahlah yang butuh peribadatan kita, butuh disembah dan dibesarkan nama-Nya.
Secara hakikat kita belum memahami benar makna di balik perintah shalat, yang di pahami selama ini hanyalah shalat sebagai sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan dan hasilnya hanya bisa kita raih di akhirat kelak. Sedangkan pengaruhnya terhadap ketenangan hati dan jiwa serta pola laku tak pernah menjadi hal yang serius untuk dikperhatikan. Para ustad pun terkadang telah menghabiskan energi yang tak sedikit untuk meyakinkan jama’ah bahwa shalat itu erat kaitannya dengan prilaku, rasa tenang dan bahagia. Tetapi, materi yang disajikan itu tetap saja terkesan memaksa dan mengancam perasaan pendengar melalui kutipan ayat dan hadist yang dipadukan dengan fikih serta metode penyampaiannya. Sehingga membentuk paradigma yang tidak konsisten antara keterpaksaan dan keikhlasan akhirnya perintah shalat menjadi tidak menarik untuk dilakukan.
Jadi, saya berasumsi bahwa malasnya umat Islam melaksanakan shalat salah satu sebabnya adalah karena gagalnya sistem kurikulum kita dalam menawarkan tentang bagaimana meraih shalat yang membahagiakan hati, menenangkan jiwa serta mencari jawaban atas persoalan hidup bahkan dapat berjumpa dengan Tuhannya (Qs. 2: 45) sebagaimana yang Nabi lakukan.
Terlebih hidup di era modern ini, jiwa manusia dipenuhi dengan kemelut persoalan dan materi sehingga hatinya menjadi gersang, resah tak tenang. Dalam situasi ini kita harus mampu mengemas metode ibadah sebagai terapi bagi jiwa-jiwa yang hampa akan nilai spiritual hingga menjadi segar dan mencerahkan melalui pendekatan shalat, bukan malah menimbulkan sikap psimis dan rasa takut pada jiwa. Seperti ungkapan “para pendosa tak mungkin bisa khusyu’, kemudian bagi yang meninggalkan shalat, maka ia akan menjadi kafir atau didera sekian lama di neraka, maka shalatlah!!!”.
Hemat saya, inilah pendekatan klasik yang sangat alternatif, sebaiknya tidak dikedepankan dalam penyampaian. Walaupun itu juga bahasa ayat dan hadis, tetapi kita harus jeli dalam menangkap subtansi sebuah perintah yaitu ingin mendorong para muslim untuk shalat dengan penuh keikhlasan bukan dalam ketakutan, sebab takut dan rasa ikhlas itu dua hal yang sangat kontradiktif dan tak mungkin sejalan.
Jadi paham tauhid yang kita tanamkan itu bukanlah paham “takut dengan Allah” tapi bagaimana manusia bisa akrab, nyambung serta damai dengan Allah Tuhannya. Sebab, orang patuh karena rasa takut pasti tidak ikhlas, sementara Allah hanya menghargai peribadatan seseorang hanya atas dasar keikhlasan. Yang anehnya lagi setelah menakut-nakuti lewat doktrin keharusan shalat, lalu mereka menganjurkan bahwa tiap kita harus shalat dengan penuh ikhlas. Inilah logika premature yang secara psikologis menjadi beban bagi jiwa.
Ternyata kita belum paham benar bahwa sholat merupakan media tertinggi yang berfungsi mengantarkan sang diri sejati melalui perjalanan spiritual tanpa batas ke zat yang Maha mutlak. Tujuan inilahi senantiasa terlupakan oleh kalangan muslim, sehingga jadilah sholat itu suatu rutinitas yang tiada pengaruh balik bagi pensholatnya, yang muncul hanyalah rasa lelah, capek, berat bahkan terpaksa. Padahal Allah hanya menilai bagi pesholat yang lurus dan ikhlas niatnya. (Qs. Al-Bayyinah, 5).
Bicara persoalan sholat kadang kita hanya beroriantasi ke-wilayah fiqihnya saja. Sehingga mulai melakukan wudhu’ samapai selesai yang terpikir hanya persoalan sah atau tidaknya, bahkan berusaha melakukannya dengan cepat hingga keposisi salam, setelah itu sedikit menaikkan tangan kewajah sambil menghentakkan nafas seakan-akan baru saja melepaskan beban berat dari pundak, inilah gambaran shalat yang menjadi beban bagi jiwa. Shalat seperti ini secara fiqih sah, karena rukun dan syaratnya terlaksanakan secara sistematis. Namun persoalannya adalah apakah shalatku sudah direspon Allah atau tidak? Apakah sudah mampu menenangkan jiwa serta membentuk prilaku atau belum.
Dalam sholat, Fikih adalah kegiatan otak kiri untuk mengatur bacaan, gerak dan raka’at. Aktivitas otak kiri ini sangat terbatas dan cenderung menjenuhkan. Seperti halnya seorang siswa yang diperintahkan sang guru untuk mengerjakan tugas matematika, akan sangat melelahkan karena aktivitas berpikir itu. Tapi beda dengan aktivitas otak kanan yang bersifat non verbal seperti mengetahui prasaan, emosi, kesadaran.
Makanya kalau ada pertanyaan kenapa shalat itu tidak nikmat?, jawabannya adalah karena para penshalat hanya melakukannya dengan kegiatan otak kiri (fikihnya) semata. Jika seorang melakukan shalat hanya mengikuti kegiatan otak kiri (fikih) saja, maka tidak ada beda antara shalat orang dewasa dengan anak-anak yang hanya hafal bacaan dan gerakan tanpa melibatkan emosi dan kesadaran. Ternyata disini, aktivitas fikih tidak mampu memberi rasa, apakah itu rasa nikmat, rasa bahagia, tenang maupun rasa nyambung ke-Allah.
Rasa itu akan muncul ketika kita memproses aktivitas otak kiri itu melalui otak kanan yang kemudian ditranspormasikan ke hati, lalu menghasilkan keheningan, getaran dan rasa nyambung. Jadi sholat itu adalah proses perpaduan antara kegiatan otak kiri dan otak kanan lalu ditranspormasikan ke hati hingga menghasilkan rasa nyambung ke Allah (Abu Sangkan: 2004, 45). Ia bertemu merasakan ketenangan, melakukan dialog untuk mencari jawaban atas segala persoalan hidup.
Inilah posisi ketinggian yang bebas lepas tanpa hambatan dan ikatan materi (alam rendah) sekaligus mercerahkan, ini jugalah sifatnya roh yaitu selalu ingin lepas di alam ketinggian. Makanya Nabi mengatakan shalat adalah mi’rajnya orang mu’min, yaitu menuju ketinggian Ilahi serta mengembalikan kesadaran akan diri sejati sehingga tidak dikendalikan oleh dorongan alam rendah seperti rasa lapar, sex, marah, malas dll.
Rasulullah apabila mengalami kesulitan, maka beliau melakukan sholat sunat dua rakaat untuk mohon petunjuk Allah, Ketika beliau sholat seorang sahabat bertanya:“wahai Rasul, sujudmu tadi lama sekali, aku mengira engkau lupa, hampir saja aku membangunkanmu”, dijawab oleh Rasul: “aku tidak lupa, tetapi aku sedang meminta petunjuk kepada Allah atas persoalan ummatku”
“jadikanlah sholat dan sabar sebagai penolongmu, dan sesungguhnya demikian itu amat berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk (yaitu): orang menyakini bahwa mereka akan menemui tuhannya dan bahwa mereka kembali kepadanya” (QS. Albaqarah: 45-46)
Inilah merupakan konsep dasar bahwa sholat itu bukanlah untuk Allah SWT (teosentri),akan tetapi untuk kebutuhan manusia (antroposentris). Kemudian sholat bukanlah untuk memberi beban, akan tetapi sebagai jalan untuk memberi kemudahan. Selama ini kita tidak pernah menyadari untuk memanfaatkan sholat sebagai alat penolong, sumber kehidupan penerang jiwa dan tempat kita bertanya tentang persoalan yang sulit dipecahkan. Hal ini dikarenakan kita telah terlanjur menganggap sholat adalah perintah yang tidak ter-elak-kan, maka tidak heran kalau sholat merupakan beban bagi diri.
Seandainya orang tahu, bahwa Engkau selalu menjawab persoalan manusia secara langsung, barangkali mereka akan bolak-balik datang untuk bertanya kepada-Mu. Seandainya mereka tahu bahwa rahmat-Mu bisa dirasakan benar-benar ada langsung kedalam dada, barang kali mereka akan datang terus-menerus tidak kenal waktu untuk meminta Engkau mengisi dadanya dengan ketenangan yang sejuk, seandainya mereka tahu tentang rahasia ketinggian spiritual sholat mereka akan menunggu-nunggu waktu sholat dan melakukannya dengan hati yang tenang dan gembira. Ini semua tentu harus dilakukan dengan penuh kesadaran yang mengalir dalam setiap bacaan dan gerakan, sehingga melahirkan getaran yang pada akhirnya akan mewarnai gaya hidup Penshalat.
Tulisan ini Pernah dimuat di HALUAN-KEPRI, Jumat 09 November 2012