GARDAPOS.COM, PEKANBARU - Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia hingga saat ini belum tuntas. Baru-baru ini saja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis ada 6 provinsi yang menjadi target pemberantasan korupsi. Signal KPK memberitahukan ini bukan tidak beralasan, karena memang banyak oknum pejabat masih enggan berbenah untuk menerapkan standar perilaku anti korupsi. Bahkan KPK mengatakan setidaknya ada satu juta hektar lahan yang belum tertib di Provinsi Riau.
Di dalam hukum memang membangun kesadaran hukum membutuhkan waktu yang cukup lama. Sadjipto Rahardjo mengatakan bahwa membangun kesadaran hukum itu haruslah ditunjukkan dari perilaku hukum yang baik. Berperilaku hukum yang baik itu bisa diwujudkan dengan tidak berbuat yang merugikan orang lain dan kepentingan publik.
Persoalan kepentingan publik ini memang menjadi sorotan penting dalam membangun semangat pencegahan korupsi. Bisa dibayangkan apabila urusan kepentingan publik diabaikan, maka eksistensi negara bisa menjadi ancaman. Ancaman eksistensi negara ini bisa berupa terganggunya ketertiban sosial dan hilangnya kepercayaan masyarakat kepada penyelenggara negara atau kepada penyelenggara daerah. Bisa dibayangkan, apabila kepercayaan masyarakat hilang taruhannya adalah Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Untuk menjamin agar keutuhan negara tetap terjaga dari sifat-sifat koruptif penyelenggara negara atau penyelenggara negara diundangkanlah Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam perjalanannya ternyata Undang-undang Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme sepertinya sudah banyak terlupakan oleh penyelenggara negara/ daerah. Hal ini bisa terlihat banyaknya pejabat negara, mulai dari Polisi, Menteri, Hakim, Jaksa, Gubernur, Bupati/ Walikota serta Kepala Desa yang sudah menjadi terpidana korupsi.
Banyaknya pejabat negara/ pejabat daerah yang telah menjadi terpidana korupsi tidak membuat pejabat/ pejabat negara/ daerah takut untuk melakukan korupsi, bahkan semakin menggila. Bahkan ada anggapan yang berkembang, tertangkap oleh KPK melakukan korupsi atau menjadi tersangka korupsi merupakan kesialan semata atau dianggap menjadi korban politik. Bentuk-bentuk pembelaan yang subjektif itu, sejatinya melemahkan pemberantasan korupsi.