Menjawab Afirmasi Perempuan Dalam Pemilu
Oleh:
MUSDALIFA
Divisi Penangan Laporan dan Penyelesaian Sengketa, Panwascam Tembilahan
___________________________
Pemilihan umum menjadi salah satu parameter dalam mengukur tingkat demoktasi suatu negara. Melalui pemilu akan terlihat apakah suatu negara dapat memelihara kedaulatan rakyat serta apakah negara menjadim hak-hak demokrasi warga negara, baik terhadap pemenuhannya dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia. Pemilu dapat dikatakan baik, jika dalam pelaksanaannya dapat menjamin hak demokrasi dan adanya penegakan keadilan pemilu bagi semua elemen yang terlibat di dalamnya.
Menurut UU No. 07 Tahun 2017, pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 tahun dan atau lebih, sudah kawin atau belum pernah kawin. Dalam peraturan PKPU No. 07 Tahun 2022 Syarat Pemilih antara lain, WNI yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin, tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; berdomisili di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibuktikan dengan KTP-el; berdomisili di luar negeri yang dibuktikan dengan KTPel, Paspor dan/atau Surat Perjalanan Laksana Paspor; dalam hal Pemilih belum mempunyai KTP-el sebagaimana dimaksud dalam huruf c dan huruf d, dapat menggunakan Kartu Keluarga; dan tidak sedang menjadi prajurit Tentara Nasional Indonesia atau anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam kerangka demokrasi konstitusional Indonesia, kesetaraan gender diatur dalam pada pasal 28 H UUD 1945 yang berbunyi, setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guan mencapai persamaan dan keadilan. Negara mematikan tidak ada satu orang atau kelompok yang dieliminasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pasal 10 ayat (7) dan pasal 92 ayat (11) undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum menyebut bahwa komposisi keanggotaan KPU dan Bawaslu memperhatikan keterwakilan perempuan paling sedikit 30%. Frasa memperhatikan memberikan pesan bahwa ada prioritas dan keutamaan bagi perempuan dalam mengisi keanggotaan KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu.
Afirmasi politik perempuan di Indonesia diatur dalam undang-undang no. 2 tahun 2008 tetnang partai politik yang mensyaratkan keterwakilan perempuan sebesar 30% pada kepengurusan partai dan pencalonan legislative. Dalam UU NO. 7 tahun 2017 mensyaratkan pencalonan dalam pemilu mewajibkan partai politik menyertakan caleg perempuan minimal 1 orang disetiap 3 daftar calon di seluruh daerah pemilihan.
Jumlah pemilih perempuan pada pemilu tahun 2019 mencapai 96.572.045 orang atau setara 50,07%. 51,43% menggunakan hak pilih di TPS sehingga dapat disimpulkan, pemilih perempuan lebih banyak menggunakan hak pilihnya berbanding dengan pemilih laki-laki.
Jumlah keterwakilan perempuan di parlemen tahun 2019 merupakan angka terbesar sejak tahun 2019, dimana pada pemilu 2019 mampu mengantarkan 118 (20,52%) dalam keterwakilan di parlemen meskipun jumlahnya masih jauh dari angka 30%.
Tantangan dan Solusi Menjawab Afirmasi 30% Keterwakilan Perempuan
Budaya patriarki yang begitu melekat dalam masyarakat Indonesia menjadi salah satu tantangan bagi kaum perempuan untuk dapat membuktikan eksistensinya dalam kancah perpolitikan dan posisi strategis lainnya dalam kontestasi politik di Indonesia. Masih tabuhnya seorang perempuan memimpin membuat perempuan (pun) yang memiliki kemampuan mengalami marginalitas dalam hal membuktian kapabilitas yang dimiliki. Tingginya mahar politik dan kompleksnya kegiatan kepemiluan membuat perempuan terjebak dalam situasi dan kondisi yang membuatnya sulit dalam mengekspresikan segala bentuk ide dan inovasi yang dimiliki dalam mewarnai wajah politik di Indonesia.
Hal tersebut tentunya berpengaruh terhadap kurangnya keterwakilan perempuan (pun) dengan afirmasi politik yang telah diberikan (ruangnya) oleh Undang Undang. Kebijakan-kebijakan yang lahir pun sangat sedikit yang menyentuh untuk kepentigan perempuan. Sehingga masih kita temui beberapa kebijakan kebijakan yang tidak mengcover seluruh kepentingan perempuan dengan baik.
Dapat kita lihat masih banyaknya kasus KDRT, penganiayaan terhadap tenaga kerja perempuan, rendahnya tingkat Pendidikan perempuan, kebijakan tenaga kerja yang belum berpihak secara penuh kepada tenaga kerja perempuan, hal ini terlihat dari jumlah kepala daerah perempuan terpilih dari tahun 2015-2018 total ada 92 perempuan dari 1084 kepada daerah terpilih (8,49%), terdiri dari: 48 perempuan dari 542 kepala daerah terpilih (8,86%) yaitu: 1 Gubernur, 39 Bupati dan 8 walikota 44 perempuan dari 542 wakil kepada daerah terpilih (8,12%) yaitu 3 Wakil Gubernur, 31 Wakil Bupati dan 10 Wakil Walikota. Angka tersebut menunjukkan kouta 30% sebagai amanat undang-undang belum maksimal terpenuhi (Perludem, 2018).
Selain itu, faktor lain yang masih menjadi penghambat perempuan dalam politik adalah kurangnya kesadaran pemilih perempuan dalam memilih calon perempuan yang ikut bertanding dalam setiap kontestasi politik. Hal ini disebabkan, calon perempuan belum memaksimalkan diri dalam mengkampanyekan visi dan misi nya, dan dominasi kampanye oleh peserta lelaki mengingatk kampanye adalah kerja politik yang cukup memakan waktu tenaga dan materi. Masih kurangnya dukungan dari lingkungan membuat perempuan tidak maksimal dalam mengoptimalkan diri untuk memperkenalkan diri ke konstituennya. Mengingat perempuan memiliki tugas dan tanggung jawab domestik yang harus diselesaikan (rumah, anak dan suami).
Sehingga, perempuan yang terjun sebagai kader partai, atau ingin berkiprah dalam kancah perpolitikan dan kepemiluan, maka hal tersebut harus mendapat dukunngan penuh dari keluarga terutama suami.
Jumlah pemilih perempuan 2019 yang mencapai 96.572.045 orang atau setara 50,07%. 51,43% pengguna hak pilih adalah perempuan. Artinya lebih banyak pemilih perempuan yang pergi ke TPS untuk memberikan suara dibandingkan lai-laki.
Jumlah keterpilihan perempuan di parlemen meskipun mengalami peningkatan, angkanya relatif stagnan sejak 2009. Masih jauh dari angka kritis sekurang-kurangnya 30% perempuan di parlemen. Pemilu 2019 baru mampu mengantarkan 118 (20,52%) orang perempuan terpilih menjadi anggota DPR. Pada tingkat DPRD, angkanya bahkan jauh lebih kecil lagi.
Peningkatan kualitis diri (capacity building) menjadi point berikutnya yang harus dipenuhi oleh seorang perempuan agar dapat bersaing dengan peserta pemilu lain dalam kontestasi pemilu. Meskipun undang-undang telah memberikan ruang afirmasi bagi kaum perempuan, maka keterisian kuota tersebut tidak hanya sebatas pemenuhan syarat administrasi agar parta politik dapat lolos verifikasi dalam keikutsertaan sebagia peserta pemilu. Perempuan harus membangun citra diri bahwa dirinya (perempuan) memang layak untuk menjadi bagian dari pemilu bukan hanya karna amanat dari undang-undang, tetapi memang pantas dan memiliki kemampuan yang mumpuni dalam perhelatan demokrasi. Kartini, Megawati Soekarno Putri, Sri Indrawati, Retno Lestari, dan banyak lagi srikandi srikandi yang dapat dijadikan sebagai motivasi perempuan perempuan Indonesia bahwa mereka meraka yang ikut mewarnai perpolitikan dan kebijakan penting di negara ini adalah perempuan yang memiliki kapasitas yang dapat diandalkan (pun) mereka adalah perempuan.
Kehadiran perempuan akan menjadikan pengakuan bahwa perempuan itu “ADA”. Kehadiran perempuan secara kuantitas akan mendorong keadilan dan kesetaraan, serta mendorong hadirnya identitas dan kepentingan perempuan. Representasi juga memungkinkan perempuan untuk dapat mengakses sumber daya untuk kebaikan seluruh masyarakat (Anne Phillips 1995).
Perempuan memiliki peran penting, karena memiliki peran kodrati yang tidak bisa tergantikan oleh laki-laki, sehingga dalam pengambilan kebijakan, tentunya perempuan akan lebih dapat mengaspirasi kebutuhan perempuan lainnya. Selain itu, perempuan memiliki kesempatan sosial yang lebih banyak dibandingkan laki-laki. Ini terlihat dari berhimpunannya perempuan dalam komunitas-komunitas sosial seperti persatuan darma Wanita, kelompok yasinan dan perkumpulan perkumpulan perempuan lain yang dapat dijadikan sarana bagi perempuan dalam mengoptimalkan kemampuan untuk dapat mensosialisasikan kemampuan diri yang dimiliki dan tentunya, komunitas tersebut memberi peluang kepada perempuan untuk menghimpun konstituen.