Porospro.com - Komisi II DPRD Riau memanggil pengusaha pabrik kelapa sawit (PKS) yang tidak memiliki kebun, Kamis kemarin. Dari ratusan PKS, ternyata ada yang beroperasi di kawasan hutan.
Sekretaris Komisi II DPRD Provinsi Riau Husaimi Hamidi menegaskan, pabrik dan perkebunan yang berada di kawasan hutan, tetap ditertibkan. Karena pengelolaan usaha di dalam kawasan hutan sudah melanggar undang-undang.
"Saat ini, kabarnya ada 9 PKS yang berada di dalam kawasan. Maka PKS ini harus dibongkar," tegas Husaimi, Jumat (23/6/2023).
Lanjut dia, jika perkebunan dalam kawasan, masih ada toleransi satu kali masa. Artinya, ketika sawit sudah direplanting, maka tidak boleh ditanami lagi.
"Dan lahannya harus diserahkan ke negara untuk dijadikan kawasan hutan," kata Husaimi.
Husaimi Hamidi mengatakan, ada 137 PKS beroperasi di Riau yang tidak punya kebun. PKS yang datang saat pertemuan kemarin hampir 80 persen.
"Kita lakukan hearing itu bagaimana kita menyikapi harga TBS yang merosot. Sementara PKS itu berada di tengah masyarakat, tapi tidak bisa menikmati harga yang ditetapkan oleh Dinas Perkebunan," kata Husaimi.
Kata dia, Dinas Perkebunan menetapkan harga seminggu sekali, yakni harga bermitra dan harga swadaya. Tapi masyarakat tidak bisa menikmati harga yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
"Kita cari akar masalahnya kenapa harga petani rendah, karena banyaknya rantai hingga sampai ke PKS. Ada toke, ada peron, baru sampai ke PKS. Harga PKS saja selisih harga sampai Rp500 perkilo," kata dia.
Lanjut dia, dari hasil pertemuan itu, disepakati bersama dengan perusahaan itu, Dinas Perkebunan tandatangan untuk mengajak masyarakat bermitra. Karena harga yang ditetapkan Dinas perkebunan harga bermitra.
"Makanya kita ajak perusahaan mau nggak, sepakat nggak mengajak masyarakat bermitra. PKS siap atau tidak, alhamdulillah PKS tandatangan tadi, tapi dengan catatan berbadan hukum. Kelompok tani kah namanya, koperasi kah namanya, tidak orang perorang. Sehingga kita bisa bantu masyarakat mendongkrak harga TBS," paparnya. (Advertorial)