Porospro.com - Selain menjadi atensi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Riau, konflik lahan perkebunan tiga kecamatan di Kabupaten Siak menjadi sorotan Panja Pemberantasan Mafia Pertanahan Komisi II DPR RI.
Tiga Kecamatan di Siak itu adalah Dayun, Mempura dan Koto Gasib. Konflik ini terjadi antara masyarakat dengan PT Duta Swakarya Indah (DSI).
"Ini yang kita sayangkan kadang-kadang perusahaan ini dengan kekuatan ekonominya dia bisa membayar orang untuk menakut-nakuti masyarakat entah itu dari oknum APH (Aparat Penegak Hukum), premanisme dan sebagainya nah kita tak tahu," kata Wakil Ketua Komisi II DPRD Riau Zulfi Mursal, Selasa (18/07/2023).
Lanjut dia, yang jelas tidak mungkin yang menakut-nakuti masyarakat itu hanya sekadar menakut-nakuti saja tanpa ada yang membackup.
"Backup secara ekonomi, duit upah segala macam, pasti ada itu sudah jadi rahasia umum," kata Zulfi.
Kata dia, persoalan backup membackup ini sudah mendapat perhatian dari Panja Pemberantasan Mafia Pertanahan Komisi II DPR RI. Komisi II DPR RI menegaskan sudah menyampaikan ke Kapolri persoalan kasus pertanahan ini.
"Kita harap ada realisasinya, kita akan kawal permintaan Panja Mafia Tanah tersebut jangan sampai permintaan tersebut tak diindahkan," kata dia.
Di Provinsi Riau, masalah konflik lahan perkebunan antara masyarakat dengan PT Duta Swakarya Indah (DSI) menjadi sorotan Komisi II DPRD Riau. Perusahaan ini dianggap tidak menghargai pemerintah tempat mereka beroperasi.
Persoalan ini sudah lama terjadi di tiga kecamatan di Kabupaten Siak. Pekan lalu, Komisi II memanggil PT DSI untuk rapat dengar pendapat (RDP) di gedung legislatif Provinsi Riau. Namun, perusahaan itu tidak hadir.
Sekretaris Komisi II DPRD Riau Husaimi Hamidi mengatakan, PT DSI sudah tak menghargai Pemerintah Daerah tempat di mana perusahaan mereka beroperasi selama ini. Ia menambahkan, permasalahan terbesar selama ini perusahaan-perusahaan di Riau adalah, HGU tidak lagi menjadi persyaratan utama perusahaan membuat kebun.
Jadi, izin operasional dan izin perkebunan keluar, HGU masih dalam pengurusan. Tapi, perusahaan sudah bisa merawat, menanam dan memanen kelapa sawit.
"Bahkan ada perusahaan yang sudah 10 tahun beroperasi tapi ketika ditanya HGU nya, ternyata masih dalam pengurusan," kata Husaimi, Selasa (18/07/2023).
Akibatnya, HGU tak sesuai dengan kondisi di lapangan. Artinya, luas yang ditanam secara ril dan di dalam HGU sudah berbeda.
"Harusnya secara logika kita, HGU itu persyaratan wajib membuka kebun untuk mengetahui titik koordinatnya. Kalau seperti ini kasihan masyarakat, mereka hanya mencari makan kok," kata Husaimi. (Advertorial)