Porospro.com, - JAKARTA — Selembar surat berkop “Law Firm Bellator” mendarat di meja pengaduan masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta Selatan, Jumat pagi, 13 Juni 2025.
Surat itu dibawa langsung oleh advokat Bobson Samsir Simbolon SH. Ia tak hanya datang sebagai seorang Advokat, tetapi juga sebagai Wakil Ketua Forum Penyuluh Antikorupsi Provinsi Riau periode 2022–2026.
Isinya bukan keluhan biasa. Surat setebal 24 halaman yang didaftarkan dengan Nomor 21/Peng.Pid/KL/LFB/M/VI/2025 itu berisi uraian sistematis dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan keuangan Pemerintah Provinsi Riau tahun anggaran 2024.
Jumlah kerugian yang dipersoalkan tak main-main: lebih dari Rp1,8 triliun.
“Kami menilai telah terjadi banyak penggunaan dan pengelolaan keuangan yang tidak rasional dan bertentangan dengan ketentuan hukum,” kata Bobson usai menyerahkan laporan.
“Ini bukan kesalahan teknis semata, tapi potensi kejahatan anggaran yang sistematis dan terstruktur,” beber Bobson, kepada sejumlah media, di Jakarta, Jumat, 13 Juni 2025.
Dalam laporan itu, Bobson mengurai sejumlah kejanggalan yang, menurutnya, dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Salah satu sorotan utama adalah ketidaksesuaian antara proyeksi pendapatan daerah dan kenyataan penerimaan.
Pemerintah Provinsi Riau, tulisnya, menyusun anggaran penerimaan yang tidak terukur, sementara pengelolaan belanja dan hutang jangka pendek tidak sesuai peraturan.
Akibatnya, realisasi belanja tahun berjalan dan hutang tahun sebelumnya—termasuk hutang belanja senilai Rp1,76 triliun—terpaksa dibebankan ke anggaran tahun berikutnya.
Tak berhenti di situ, kas daerah justru dipakai untuk menutup dana PFK (Perhitungan Pihak Ketiga) senilai Rp39,2 miliar, yang seharusnya bersumber dari pemerintah pusat.
“Kondisi ini membebani SiKPA (Sisa Kurang Penggunaan Anggaran) dan berpotensi menimbulkan moral hazard,” kata Bobson dalam laporan.
Ia juga menyebutkan adanya ketekoran kas di Sekretariat DPRD Riau sebesar Rp3,3 miliar, serta pertanggungjawaban perjalanan dinas yang tak sesuai ketentuan dengan nilai dugaan kerugian mencapai Rp16,9 miliar.
Semua itu, tulis Bobson, bertentangan dengan berbagai regulasi mulai dari UU Keuangan Negara, Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, hingga Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Gubernur Riau.
“Ini bukan pelanggaran administratif biasa, melainkan dugaan kuat penyimpangan anggaran yang disengaja,” ujarnya.
Dasar Bukti: Laporan Pemeriksaan BPK
Pondasi argumen Bobson bukanlah asumsi. Ia mendasarkan tuduhan pada temuan resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Provinsi Riau.
Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas sistem pengendalian intern dan kepatuhan terhadap peraturan, tertanggal 26 Mei 2025, dijadikan lampiran utama dalam pengaduan tersebut.
Dalam dua buku laporan BPK Buku I dan Buku II diuraikan bahwa kelemahan sistemik dalam penganggaran dan penatausahaan keuangan telah terjadi sepanjang 2024.
Bahkan, BPK menyoroti adanya kesepakatan anggaran antara Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) dan Badan Anggaran (Banggar) DPRD Riau yang tidak berdasarkan kondisi riil fiskal daerah.
Nota kesepakatan perubahan APBD Riau 2024, yang menyetujui proyeksi pendapatan sebesar Rp11,1 triliun, ditandatangani oleh Ir. S.F. Hariyanto (selaku Ketua TAPD) dan tiga pimpinan Banggar DPRD: Yulisman, H. Agung Nugroho, dan Hardianto.
“Nota ini jadi pintu masuk pembengkakan anggaran yang tidak realistis. Ini rekayasa fiskal,” kata seorang sumber internal Pemprov Riau yang meminta namanya dirahasiakan.
Dalam laporan ke KPK, Bobson menyebut empat nama yang menurutnya patut diperiksa dan dimintai pertanggungjawaban pidana.
Keempat nama itu dinilai memiliki peran strategis dalam perencanaan dan pengesahan APBD Perubahan 2024, yang kemudian memunculkan beban fiskal di luar kemampuan daerah.
Bobson menyebut pelaporannya bukan sekadar kritik, tetapi seruan agar penegakan hukum dijalankan di jalur konstitusional.
Ia meminta Ketua KPK memerintahkan penyidik untuk menindaklanjuti laporan ini sesuai ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Kami percaya KPK masih menjadi harapan publik. Kami membawa data, bukan sekadar opini,” katanya. ***
Tulis Komentar