Oleh: Zainal Arifin Hussein
Dosen UNISI/Pemerhati Lingkungan
Indragiri Hilir di Provinsi Riau mungkin lebih dikenal sebagai “negara kelapa” dengan hamparan 423.934 hektare kebun kelapa, salah satu yang terluas di Indonesia. Dari sinilah sebagian besar masyarakat pesisir menggantungkan hidupnya. Namun, di balik angka produktivitas dan potensi ekonomi itu, ada krisis ekologi besar yang sedang berjalan, diam-diam menggerogoti fondasi kehidupan, kerusakan hutan mangrove.
Kabupaten ini memiliki 131.658 hektare hutan mangrove, terluas di Riau. Mangrove di sini bukan sekadar tanaman tepi laut, melainkan benteng alami yang menahan abrasi dan intrusi air laut, pelindung bagi kebun kelapa dan lahan pertanian pesisir. Saat benteng ini jebol, seluruh sistem sosial-ekonomi ikut runtuh.
Data pemetaan berbasis citra satelit oleh Eco Nusantara dan BDPN menunjukkan 75 ribu hektare kebun kelapa sudah terdampak intrusi air laut. Banyak yang rusak total, tidak lagi menghasilkan. Dengan rata-rata nilai ekonomi Rp30 juta per hektare per tahun, kerugian yang ditanggung masyarakat mencapai Rp2,25 triliun setiap tahun. Angka ini bukan sekadar statistik, di lapangan ia berarti dapur yang tak lagi mengepul, sekolah yang tak lagi mampu dibayar, dan masa depan yang kabur.
Contoh paling nyata ada di Desa Kuala Selat, tempat 144 keluarga kehilangan mata pencaharian karena kebun kelapa mereka mati. Data Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mencatat hilangnya daratan pesisir dan kebun kelapa dalam skala ribuan hektare. Di Dusun Sungai Bandung, ratusan hektare kebun kelapa lenyap akibat kenaikan permukaan laut dan kerusakan tanggul.
Kerusakan mangrove memicu lingkaran setan, mangrove rusak ? intrusi air laut meningkat ? kebun kelapa mati ? pendapatan menurun ? penebangan mangrove semakin masif ? hasil laut berkurang ? praktik tangkap ikan destruktif meningkat ? kualitas hidup merosot ? masalah sosial membesar.
Bagi masyarakat adat Suku Duanu, yang selama berabad-abad menjaga keseimbangan alam, ini adalah bencana ganda. Perubahan iklim mengurangi hasil tangkapan nelayan, sementara alat tangkap destruktif seperti setrum, racun, sondong, dan trawl mini merusak habitat sungai dan laut.
Masalahnya, kewenangan pengelolaan hutan, termasuk mangrove, berada di tangan Kementerian Kehutanan serta Pemerintah Provinsi. Namun, dampak sosial-ekonomi yang muncul tetap menjadi tanggung jawab moral Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir. Ketiadaan koordinasi efektif antara pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten justru membuat kebijakan berjalan di ruang-ruang terpisah, sementara masyarakat pesisir terus menanggung kerugian.
Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Kabupaten Indragiri Hilir perlu segera menyusun Peraturan Daerah yang memayungi tata kelola pesisir dan mangrove dengan prinsip keadilan, kelestarian, dan keberlanjutan. Tanpa regulasi yang kuat, kebijakan akan terus terjebak pada proyek jangka pendek yang mengorbankan masa depan.
Pemulihan mangrove harus menjadi prioritas nasional. Rehabilitasi partisipatif, penegakan hukum terhadap penebangan ilegal, penyediaan alternatif bahan bakar dan kayu, pengembangan ekonomi pesisir berbasis ekowisata atau perikanan berkelanjutan, serta koordinasi lintas pemerintah dan lembaga adalah kunci.
Mangrove Indragiri Hilir bukan hanya soal ekologi, tapi soal keberlangsungan ekonomi, identitas budaya, dan masa depan generasi. Jika kita membiarkannya hilang, kita sedang menggali kubur bagi pesisir Riau dan bagi kita semua yang hidup dari kekayaan laut Indonesia.
Mangrove adalah benteng terakhir. Dan benteng ini sedang sekarat.
Sempena Milad Riau ke-68, dengan semangat kepemimpinan baru Gubernur Riau dan Bupati Indragiri Hilir, rakyat menanti langkah konkret dan terobosan yang bukan hanya menyelamatkan mangrove, tetapi juga memulihkan kejayaan kelapa rakyat. Inilah saatnya membuktikan bahwa menjaga tuah dan melindungi marwah berarti menjaga alam dan menghidupkan kembali harapan masyarakat pesisir mewujudkan Inhil yang benar-benar hebat. rls
Tulis Komentar