Bansos dari Anggaran Daerah Tak Mesti Mengacu Data Pusat

Bansos dari Anggaran Daerah Tak Mesti Mengacu Data Pusat

Porospro.com - Pemerintah angkat bicara soal kritikan terkait penyaluran babtuan sosial (bansos) Covid-19 yang dinilai rumit dan merepotkan.

Mensos Juliari Batubara memastikan bansos tersebut sudah disosialisasikan ke daerah berulang kali sebelum dilaksanakan. Baik melalui video conference maupun juknis tertulis.

Dia menjelaskan, pada prinsipnya pemerintah pusat hanya mengatur bansos yang dananya berasal dari APBN. Sementara, untuk bansos yang berasal dari APBD, pemda dipersilakan mengaturnya sendiri.

"Kami memberikan keleluasaan untuk seluruh pemda, tidak harus mengambil semua data yang ada di data terpadu kami atau disebut DTKS," terang­nya usai ratas virtual bersama Presiden Joko Widodo kemarin.

Bila pemda hendak mendata orang-orang di luar DTKS, boleh-boleh saja. Karena pemda juga mengetahui apa yang terbaik bagi daerahnya.

Yang terjadi saat ini, pemda khawatir untuk memberikan bansos yang berasal dari APBD untuk mereka yang sudah mendapat bansos dari APBN.

"Silakan, tidak ada halangan sama sekali dari pemerintah pusat. Karena memang anggaran tersebut adalah anggaran daerah," lanjutnya.

Jadi, dalam mendistribusikan bansos dari APBD, Pemda tidak perlu mengecek atau menyesuaikan dnegan data pemerintah pusat. Daerah dibebaskan untuk menetapkan siapa saja yang bisa mendapatkan bansos APBD.

Khusus untuk bansos tunai di luar Jabodetabek, saat ini pihaknya sedang melaksanakan sinkronisasi agar tidak terjadi penumpukan. Jangan sampai penerima bansos tunai Kemensos mendapatkan bansos dari dana desa, begitu pula sebaliknya.

"Ini harus kita hindari supaya tidak terjadi kekacauan di bawah," tambahnya.

Sementara itu, bantuan langsung tunai (BLT) yang diambilkan dari dana desa terus disalurkan. Menteri Desa dan PDTT Abdul Halim Iskandar mengungkapkan, per 27 April kemarin sudah 8.150 desa dari 76 kabupaten yang sudah mencairkan dan melakukan penyaluran.

"Data ini masih terus bergerak. Pencairannya dengan kondisi masing-masing.  Ada yang non-tunai jadi langsung masuk rekening. Ada juga yang tunai karena situasi kondisi daerahnya," kata Halim, Senin (27/4).

Halim menjelaskan untuk transfer non tunai jelas tidak melibatkan kontak fisik. Sementara bantuan tunai dilakukan dengan cara pengiriman door to door langsung ke rumah para penerima manfaat.

Karena semuanya memperhatikan protokol kesehatan. Setiap kepala keluarga akan mendapatkan Rp600 ribu per bulan untuk periode 3 bulan ke depan.

Desa yang mendapatkan pencairan dana desa di bawah Rp800 juta, boleh mengalokasikan hingga 25 persen dari dana desa untuk BLT.

Sementara desa yang jumlah pencairannya antara Rp800 hingga Rp1,2 miliar, bisa mengalokasikan maksimal 30 persen. Sementara desa yang mendapatkan lebih dari Rp1,2 miliar bisa mengalokasikan maksimal hingga 35 persen.

Meski demikian, Halim menyatakan bahwa jumlah ini tidak baku. Desa boleh saja mengajukan lebih dari prosentase tersebut jika kondisinya mendesak.

"Misalnya, di desa itu banyak sekali yang terdampai Covid-19. Maka boleh mengalokasikan di atas 35 persen. Dengan syarat disetujui oleh Bupati/Walikota setempat. Persetujuan kepala daerah ini semata untuk menverifikasi apakah valid datanya," jelas Halim.  

Halim berharap, tidak ada bupati dan wali kota yang mempersulit pencairan karena bentuan ini adalah urusan kemanusiaan. Sejauh ini pihaknya belum menerima laporan kesulitan pencairan.

Halim mengingatkan bahwa bantuan ini tidak boleh overlapping dengan jenis-jenis bantuan lain seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Jaring Pengaman Sosial Nasional, Program Kartu Pra-Kerja, Program Bantuan Pangan Non-Tunai.

Sumber: riaupos.co

image
Redaksi

Berbagi informasi Tlp/WA 082389169933 Email: redaksiporospro@gmail.com Pengutipan Berita dan Foto harap cantumkan porospro.com sebagai sumber tanpa penyingkatan


Tulis Komentar