Arah Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia: Menapaki Jalan Menuju Sistem Keadilan yang Progresif dan Responsif

Arah Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia: Menapaki Jalan Menuju Sistem Keadilan yang Progresif dan Responsif

Oleh: Reza Fahlevi Fajrin
Mahasiswa Magister Hukum, Universitas Islam Indragiri

_______________________________

Pembaharuan hukum pidana di Indonesia merupakan salah satu isu paling mendesak dalam pembenahan sistem hukum nasional. Seiring berjalannya waktu, masyarakat dan kebutuhan sosial semakin berkembang, menuntut sistem hukum yang lebih adaptif, inklusif, dan berkeadilan. Disahkannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru pada Desember 2022, setelah lebih dari 70 tahun menggunakan KUHP warisan kolonial Belanda, menjadi titik penting dalam sejarah pembaharuan hukum pidana di Indonesia.

KUHP baru ini diharapkan mampu menjadi payung hukum yang lebih sesuai dengan nilai-nilai modern, budaya lokal, serta perkembangan global. Namun, upaya reformasi ini tidak semudah menggantikan teks undang-undang lama dengan yang baru. Terdapat berbagai tantangan, perdebatan, dan kritik yang perlu dihadapi guna memastikan bahwa pembaharuan ini benar-benar dapat memberikan manfaat yang luas dan mendalam bagi sistem peradilan pidana serta masyarakat secara umum.

Salah satu tantangan terbesar dalam pembaharuan hukum pidana adalah bagaimana menciptakan keseimbangan antara kebutuhan untuk menegakkan hukum dan menjaga hak asasi manusia (HAM). Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai instrumen hukum internasional yang mengatur HAM semakin diadopsi di tingkat nasional. Indonesia sendiri merupakan pihak dari berbagai perjanjian internasional yang mengatur perlindungan HAM. Hal ini membuat pembaharuan hukum pidana harus bersifat progresif, dengan memprioritaskan perlindungan terhadap hak individu, namun tanpa mengesampingkan ketertiban umum.

Dalam konteks ini, KUHP baru berupaya mengintegrasikan beberapa prinsip perlindungan HAM, tetapi sejumlah pasal masih memicu perdebatan. Misalnya, pasal-pasal yang terkait dengan penghinaan terhadap presiden atau lembaga negara, serta delik yang terkait dengan moralitas publik. Banyak pihak khawatir bahwa aturan-aturan ini dapat menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan dan berpotensi mengancam kebebasan berekspresi. Oleh karena itu, proses harmonisasi antara KUHP dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya, seperti Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), menjadi sangat krusial.

Delik Adat dan Pengakuan terhadap Keragaman Hukum

Salah satu elemen menarik dari KUHP baru adalah pengakuannya terhadap hukum adat melalui pengaturan pidana adat (delik adat). Langkah ini dianggap sebagai bentuk afirmasi terhadap pluralisme hukum di Indonesia. Dengan adanya delik adat, berbagai norma dan nilai lokal diharapkan dapat diakui dalam sistem hukum nasional. Namun, di sinilah tantangan lain muncul: bagaimana memastikan bahwa delik adat tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum nasional maupun internasional, terutama yang berhubungan dengan HAM.

Pengakuan terhadap hukum adat di satu sisi merupakan kemajuan, namun di sisi lain menuntut perhatian yang lebih besar dalam penerapannya. Integrasi ini harus dijalankan secara hati-hati agar tidak menciptakan tumpang tindih atau ketidakpastian hukum yang dapat merugikan masyarakat. Dalam hal ini, peran hakim sangat penting untuk menentukan kapan norma adat bisa diberlakukan, dan kapan norma nasional atau internasional harus diutamakan.

Penguatan Restorative Justice dan Dekriminalisasi

Dalam upaya membangun sistem hukum pidana yang lebih manusiawi, salah satu agenda penting adalah penguatan pendekatan restorative justice. Pendekatan ini menekankan pada pemulihan kerugian bagi korban dan pelaku dengan cara-cara yang lebih berkeadilan, tanpa semata-mata menitikberatkan pada hukuman penjara. Restorative justice menawarkan ruang bagi rekonsiliasi dan penyelesaian konflik secara damai, yang di beberapa kasus justru lebih efektif daripada hukuman yang bersifat retributif.

Selain itu, wacana dekriminalisasi terhadap pelanggaran-pelanggaran kecil juga perlu dipertimbangkan. Banyak kasus pidana yang sebenarnya dapat diselesaikan di luar pengadilan, tanpa harus melibatkan proses kriminalisasi yang sering kali mengakibatkan penjara yang berlebihan. Misalnya, pelanggaran terkait tindak pidana ringan atau tindakan yang sifatnya administratif sebaiknya diproses melalui mekanisme lain yang lebih efisien. Hal ini akan membantu mengurangi overkriminalisasi, meminimalkan kepadatan penjara, dan mengoptimalkan sumber daya penegakan hukum.

Adaptasi terhadap Teknologi dan Perubahan Sosial

Salah satu tantangan besar dalam penegakan hukum pidana di era modern adalah bagaimana sistem peradilan mampu merespons perkembangan teknologi dan perubahan sosial yang sangat cepat. Dunia digital, media sosial, dan perkembangan teknologi informasi telah mengubah banyak aspek kehidupan masyarakat. Hukum pidana yang sebelumnya mengatur interaksi langsung kini juga harus mampu mengakomodasi bentuk-bentuk kejahatan yang baru, seperti kejahatan siber, hoaks, penyalahgunaan data pribadi, hingga penipuan daring.

KUHP baru belum secara menyeluruh menangani isu-isu ini, sehingga diperlukan regulasi tambahan atau revisi di masa mendatang yang dapat menjawab tantangan-tantangan baru tersebut. Sistem peradilan pidana harus bersiap menghadapi kejahatan-kejahatan yang semakin kompleks dan bersifat lintas batas. Oleh karena itu, penguatan kapasitas aparat penegak hukum, terutama dalam hal teknologi, menjadi aspek krusial untuk diprioritaskan.

Tantangan Implementasi dan Penegakan

Pembaharuan hukum pidana yang tertuang dalam KUHP baru tidak akan efektif tanpa implementasi yang baik. Tantangan utama dalam implementasi ini termasuk dalam aspek pendidikan hukum bagi para penegak hukum, mulai dari polisi, jaksa, hingga hakim. Mereka harus memahami sepenuhnya substansi dari aturan-aturan baru ini dan mampu menerapkannya secara adil dan konsisten.

Selain itu, perlu ada upaya untuk meningkatkan kesadaran publik terkait hukum pidana yang baru ini. Masyarakat harus tahu hak-hak dan kewajiban mereka dalam sistem hukum pidana yang baru, serta bagaimana hukum ini diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa pemahaman yang baik di level masyarakat, reformasi hukum pidana ini bisa kehilangan esensi yang ingin dicapai.

Menapaki Masa Depan Hukum Pidana Indonesia

Pembaharuan hukum pidana di Indonesia adalah perjalanan panjang yang penuh tantangan. Pengesahan KUHP baru adalah awal yang baik, tetapi bukan akhir dari proses ini. Diperlukan evaluasi terus-menerus, serta keterlibatan berbagai pihak—pemerintah, akademisi, aktivis, hingga masyarakat luas—untuk memastikan bahwa hukum pidana Indonesia menjadi lebih relevan, responsif, dan adil.

Arah pembaharuan hukum pidana ke depan harus tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, dan transparansi. Pembaharuan yang dilakukan tidak boleh hanya sekadar perubahan di atas kertas, tetapi juga harus mampu menciptakan perubahan nyata dalam sistem peradilan pidana kita. Dengan begitu, kita dapat berharap pada terciptanya sistem hukum yang tidak hanya menegakkan ketertiban, tetapi juga memberikan ruang bagi perlindungan hak-hak asasi manusia, serta memajukan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.***

image
Redaksi

Berbagi informasi Tlp/WA 082389169933 Email: redaksiporospro@gmail.com Pengutipan Berita dan Foto harap cantumkan porospro.com sebagai sumber tanpa penyingkatan


Tulis Komentar