Oleh: MUHAMMAD YUSUF (Ketua Umum HMI Cabang Tembilahan)
Isu tentang ekologi bukanlah hal yang baru dalam diskursus global. Kesadaran dunia akan pentingnya menjaga lingkungan hidup mulai mendapatkan momentum serius pada Konferensi Stockholm, yang digagas oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan diselenggarakan pada 5–16 Juni 1972 di Stockholm, Swedia. Konferensi ini merupakan pertemuan internasional pertama yang secara khusus membahas masalah lingkungan hidup manusia.
Sebelum konferensi tersebut, kekhawatiran internasional sudah mulai muncul sejak tahun 1960-an akibat krisis lingkungan global seperti meningkatnya ancaman radiasi nuklir, polusi industri skala besar, eksploitasi sumber daya alam, dan perusakan ekosistem melalui penebangan serta pembakaran hutan. Krisis ini menjadi peringatan bagi umat manusia bahwa kemajuan industri dan ekonomi yang tidak dibarengi dengan kesadaran ekologis hanya akan mempercepat kerusakan planet ini.
Konferensi Stockholm menjadi titik balik penting yang tidak hanya memperkuat kesadaran kolektif internasional, tetapi juga menghasilkan dokumen penting yakni Deklarasi Stockholm yang menegaskan hak setiap manusia untuk hidup di lingkungan yang layak dan menyatakan tanggung jawab kolektif umat manusia dalam menjaga bumi. Selain itu, konferensi ini turut melahirkan United Nations Environment Programme (UNEP) sebagai badan khusus PBB yang fokus pada lingkungan hidup.
Dari konferensi inilah pula lahir momentum untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, yang dirayakan setiap tanggal 5 Juni. Tujuan utama peringatan ini adalah untuk meningkatkan kesadaran dan memicu aksi nyata dari individu, komunitas, maupun negara-negara dalam menjaga serta melindungi lingkungan hidup.
Islam dan Ekologi
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin atau bisa dimaknai menebarkan kasih pada segenap alam, memiliki pandangan yang sangat kuat dan tegas terkait dengan ekologi dan tanggung jawab manusia terhadap alam. Yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam dan tidak merusak lingkungan. Sebagaimana termaktub dalam firman Allah SWT surah Al-A'raf ayat 56.
"Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya, dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang-orang yang berbuat kebaikan."
(Q.S Al-A'raf:56)
Selain itu, Islam juga menegaskan bahwa manusia memiliki tanggung jawab sebagai khalifah dimuka bumi. Konsep khalifah (wakil Allah di bumi) dalam Islam tidak hanya bermakna kepemimpinan terhadap manusia, tetapi juga tanggung jawab terhadap pengelolaan alam atau lingkungan.
"..Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya
."(Q.S Hud:61).
Islam mengajarkan bahwa alam bukanlah milik manusia sepenuhnya, melainkan titipan yang harus dijaga dan dipelihara.
Pada zaman Rasulullah, Muhammad SAW, terdapat konsep yang penting dan relevan untuk melindungi alam dan lingkungan. Konsep tersebut disebut “Hima”, yang bermakna perlindungan atau pembatasan. Hima mengacu pada prinsip-prinsip yang mengatur penggunaan dan perlindungan sumber daya alam serta menjaga keseimbangan ekologi. Oleh karena itu istilah Hima bisa saja bermakna taman nasional, hutan lindung, suaka margasatwa, dll (Mangunjaya, Peradaban Islamia Vol III No.2: 2007).
Hima merupakan kasawan lindung yang dibuat oleh Rasulullah dan diakui oleh FAO (Food and Agriculture Organization of the United Nations) sebagai contoh pengelolaan kawasan lindung paling tua bertahan di dunia (Mangunjaya, Peradaban Islamia Vol III No.2: 2007). Salah satu Hima terluas yang dibangun pada masa Khalifah Umar ibn Khatab yaitu Hima al-Rabadha, sedangkan Hima yang ditetpkan oleh Rasulullah SAW yaitu Hima an-Naqi yang terletak disekitar Kota Madinah. Diwilayah itu Rasullah SAW melarang berburu binatang pada radius empat mil.
Nabi Muhammad SAW pun memberikan teladan dalam perlindungan lingkungan. Beliau melarang penggundulan hutan, menganjurkan hemat air bahkan ketika berwudhu, serta mendirikan hima (kawasan konservasi alam) yang diatur secara sosial dan spiritual. Artinya, ekologi bukan sekadar isu modern, tetapi telah menjadi bagian dari spiritualitas Islam sejak awal.
Dengan demikian, ekologi dalam Islam bukanlah sekadar etika lingkungan, tapi juga bagian dari ibadah dan tanggung jawab spiritual terhadap Sang Pencipta, Allah SWT.
Kondisi Ekologis Hari Ini
Kondisi ekologis dunia hari ini berada dalam keadaan yang mengkhawatirkan. Krisis iklim, polusi plastik, kepunahan spesies, serta kerusakan hutan dan pencemaran air menjadi tantangan nyata. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menunjukkan bahwa pemanasan global telah mencapai lebih dari 1,1°C di atas tingkat pra-industri, dan jika tidak ditangani segera, akan berdampak pada krisis pangan, air, kesehatan, dan keamanan global.
Fenomena climate change memperparah ketimpangan sosial dan ekonomi. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, menghadapi beban berat dari kerusakan ekologis yang sebagian besar disebabkan oleh eksploitasi kapitalistik tanpa kontrol. Keseimbangan alam terganggu, cuaca ekstrem meningkat, dan bencana alam menjadi lebih sering serta merusak.
Indonesia sendiri sebagai negara megabiodiversitas menghadapi ancaman serius pada deforestasi, kebakaran hutan, pencemaran sungai, dan degradasi lingkungan di wilayah pesisir. Masyarakat adat, petani, dan nelayan menjadi kelompok paling rentan dalam pusaran krisis ekologis ini.
Kondisi Ekologis di Kabupaten Indragiri Hilir
Kabupaten Indragiri Hilir (Inhil), yang dikenal dengan potensi perkebunan kelapa terbesar di Indonesia, juga menghadapi tantangan serius dalam bidang ekologi. Inhil yang berada di kawasan pesisir rentan terhadap abrasi dan penurunan muka tanah, terutama akibat intrusi air laut. Kemudian diperparah dengan Mangrove sebagai benteng pesisir dilakukan penebangan. Akibatnya perkebunan kelapa masyarakat lenyap. Contoh nyata yang dapat kita lihat yaitu perkebunan kelapa di Kuala Selat, Kecamatan Kateman, Sekitar 2.000 hektar kebun kelapa rusak parah, tak ada yang bisa dipanen. Barisan pohon kelapa gundul, tak lagi berdaun dan berbuah. Sekitar 144 keluarga petani kehilangan mata pencarian. Akhirnya beberapa dari masyarakat meninggalkan desa.
Konversi Lahan dan Perusakan Gambut, Banyak kawasan gambut yang beralih fungsi menjadi lahan sawit atau pemukiman, yang menyebabkan turunnya kualitas ekosistem, termasuk terjadinya kebakaran lahan gambut. Kemudian persoalan pengelolaan sampah. Persoalan sampah rumah dan kurangnya sistem pengelolaan limbah ini sudah menjadi masalah klasik, apalagi ditambah dengan budaya buang sampah sembarangan.
Ironisnya, persoalan-persoalan ini belum ditangani secara serius dan sistematis. Kegiatan edukatif masih minim, regulasi belum ditegakkan secara konsisten, dan kesadaran masyarakat terhadap lingkungan masih rendah. Hal ini membutuhkan dorongan kuat dari semua elemen masyarakat, termasuk kalangan mahasiswa.
Peran HMI dalam Menjaga Lingkungan
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, bahwa relasi antara Islam dan ekologi bukan saja hubungan yang bersifat simbolik, melainkan merupakan relasi teologis yang mendalam. Islam menempatkan alam sebagai amanah Allah SWT, yang bukan untuk dieksploitasi secara serampangan, tetapi suatu hal yang wajib untuk dikelola dan dijaga.
Dalam konteks Nilai-nilai Dasar Perjuangan HMI (NDP HMI), menjaga lingkungan hidup merupakan bentuk konkret dari tanggung jawab terhadap kemanusiaan dan keislaman. HMI yang berstatus sebagai organisasi mahasiswa dan berfungsi sebagai organisasi kader sekaligus berperan sebagai organisasi perjuangan, memiliki peran strategis dalam merespons tantangan ekologis, baik di tingkat nasional maupun lokal.
HMI harus mendorong lahirnya kader-kader yang memiliki kesadaran ekologis dan kemampuan advokasi dalam isu lingkungan. Secara khusus, HMI Cabang Tembilahan perlu tampil aktif menyuarakan dan terlibat langsung dalam berbagai persoalan lingkungan di Indragiri Hilir. Peran HMI dapat diklasifikasikan kedalam tiga bentuk utama yakni, edukasi, advokasi dan aksi langsung.
Edukasi dilakukan dengan memasukkan literasi lingkungan kedalam aktifitas perkaderan HMI, serta mengadakan kampanye ekologis.
Advokasi diwujudkan melalui upaya yang terencana dan sistematis untuk mempengaruhi kebijakan publik, seperti mendorong lahirnya peraturan daerah di Indragiri Hilir yang mendukung keberlanjutan lingkungan, khususnya dalam pengelolaan hutan mangrove.
Aksi langsung dapat dilakukan melalui kegiatan penghijauan, seperti penanaman pohon dan pembersihan lingkungan secara berkala.
Di tengah tantangan ekologis yang nyata, baik secara global maupun lokal, kader HMI sebagai generasi muda harus berada di garda terdepan sebagai agen perubahan. Kita harus hadir dalam medan juang tersebut, karena menyelamatkan bumi adalah bagian dari menyelamatkan masa depan umat manusia.
Wallahu a'lam bishawab.
Yakin Usaha Sampai !!!
Tulis Komentar