Porospro.com - Kejengkelan Presiden Joko Widodo terhadap kinerja para menteri tidak lepas dari serapan anggaran yang masih rendah.
Padahal, penanganan pandemi Covid-19 memerlukan tindakan ekstracepat. Termasuk dalam hal penyerapan anggaran. Jajaran pembantu presiden pun mengakui adanya sejumlah kendala di lapangan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebut realisasi insentif untuk sektor kesehatan baru 4,68 persen dari alokasi Rp 87,55 triliun. Atau baru sekitar Rp 4,09 triliun. Insentif untuk tenaga kesehatan termasuk di dalamnya. Dia menyatakan, penyaluran insentif untuk tenaga kesehatan (nakes) terkendala administrasi dan verifikasi yang kaku.
Pada prinsipnya, alur pencairan anggaran di Kemenkeu tidak rumit. Yang paling penting, ada data yang diserahkan Kemenkes. Pertama, seluruh nakes yang ikut menangani Covid-19 dan akan mendapatkan insentif harus didata dulu. Kemudian, data tersebut diverifikasi Kemenkes.
Setelah Kemenkes menyatakan data itu klir, daftar nama mereka akan diserahkan kepada Kemenkeu. Berdasar data itulah Kemenkeu akan mencairkan anggaran melalui revisi keputusan menteri keuangan.
Sebelum ada data, Kemenkeu tidak punya dasar untuk mencairkan karena siapa saja penerimanya belum diketahui.
Pemerintah juga menemui kendala dalam mengucurkan biaya klaim perawatan pasien. Menurut dia, masih banyak yang belum diproses verifikasi di rumah sakit. Meski demikian, perempuan yang akrab disapa Ani itu tidak memerinci serapan insentif bidang kesehatan.
”Masih terjadi gap antara realisasi keuangan dan fisik. Sehingga perlu percepatan proses administrasi penagihan,” papar Ani dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi XI DPR kemarin (29/6).
Kemudian, realisasi insentif untuk perlindungan sosial tercatat 34,06 persen dari total dana Rp 203,9 triliun. Atau sekitar Rp 69,44 triliun. Berdasar catatan Kemenkeu, kinerja program bantuan sosial cukup optimal.
Pemerintah juga sudah membayar kompensasi atas diskon listrik kepada PLN. Hanya, realisasi insentif dari program kartu prakerja dan bantuan langsung tunai (BLT) dana desa masih relatif rendah. Penyebabnya, masih ada data yang tumpang-tindih.
Selain itu, lanjut Ani, realisasi insentif fiskal untuk sektoral dan pemerintah daerah sebesar 4,01 persen, UMKM 22,74 persen, dan insentif usaha 10,14 persen. Sedangkan untuk pembiayaan koperasi belum terealisasi sepeser pun.
”Untuk insentif pembiayaan korporasi masih penyelesaian skema dukungan dan regulasi, serta infrastruktur pendukung untuk operasionalisasi,” terang mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.
Sementara itu, Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kemenkes Abdul Kadir angkat bicara soal insentif nakes.
Dia menuturkan, secara keseluruhan pemerintah menganggarkan insentif bagi nakes sebesar Rp 5,6 triliun. Dana itu tidak seluruhnya dikelola Kemenkes. Sebesar Rp 3,7 triliun dikelola Kemenkeu. Sisanya yang Rp 1,9 triliun dikelola Kemenkes.
Kadir menambahkan, insentif nakes yang dikelola Kemenkeu digelontorkan melalui dana transfer daerah dalam bentuk dana tambahan bantuan operasional kesehatan (BOK).
Sedangkan dana yang dikelola Kemenkes tak hanya untuk insentif, tetapi juga untuk santunan kematian nakes. Jumlahnya Rp 60 miliar.
Dana Rp 1,9 triliun yang dikelola Kemenkes sampai saat ini telah dibayarkan Rp 226 miliar. Pembayaran itu ditujukan bagi 25.311 orang nakes atau 30 persen dari target. ”Ini dari target 78.472 orang tenaga kesehatan,” ungkapnya.
Sedangkan dana santunan kematian telah dibayarkan sebesar Rp 14,1 miliar kepada 47 penerima.
Menurut dia, keterlambatan pencairan dana disebabkan terlambatnya usulan pembayaran tunjangan nakes dari fasilitas layanan kesehatan dan dinas kesehatan daerah. Sebelum dikirim ke Kemenkes, usulan tersebut harus diverifikasi secara internal.
”Alurnya terlalu panjang sehingga membutuhkan waktu untuk proses transfer ke daerah,” ucapnya. Alasan lain keterlambatan penyaluran adalah lambatnya persetujuan daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) oleh Kemenkeu.
Agar makin memudahkan, Kadir menyatakan bahwa Kemenkes telah merevisi peraturan menteri kesehatan (permenkes).
Permenkes sebelumnya, yakni nomor 278 tahun 2020, menyatakan bahwa verifikasi data dari fasilitas layanan kesehatan dan dinas kesehatan daerah menjadi wewenang Kemenkes. Namun, setelah direvisi, kewenangan itu dilimpahkan ke dinas kesehatan di tiap kabupaten dan provinsi.
”Kemenkes juga akan memverifikasi usulan dari KKP (kantor kesehatan pelabuhan, Red), laboratorium, dan BTKL (balai teknik kesehatan lingkungan, Red),” katanya. Sedangkan untuk nakes di rumah sakit, Kemenkes hanya akan memverifikasi usulan pembayaran insentif nakes dari RS vertikal, RS TNI dan Polri, RS darurat, serta RS swasta.
Kemarin presiden kembali menekankan agar para pembantunya tidak bekerja secara linier semata. ’’Saya minta ada terobosan yang bisa dilihat oleh masyarakat,’’ ujarnya dalam ratas rutin evaluasi penanganan Covid-19. Terobosan itu diharapkan betul-betul berdampak pada percepatan penanganan pandemi. Tidak datar-datar saja.
Misalnya, dengan menambah personel tenaga medis dari pusat untuk provinsi-provinsi di luar DKI Jakarta yang menunjukkan tren persebaran yang masih tinggi. Kemudian, bantuan peralatan yang lebih banyak. Semuanya dikontrol di level provinsi. Kalau bekerjanya masih datar, tidak akan ada pergerakan yang signifikan.
Dia juga meminta agar pencairan imbursement untuk pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan Covid-19 dipercepat. ’’Jangan sampai ada keluhan,’’ tegasnya. Misalnya, tenaga medis yang meninggal, santunan harus keluar begitu yang bersangkutan tiada. Prosedur di Kemenkes harus betul-betul bisa dipotong. Kalau peraturan menteri berbelit, disederhanakan.
Intinya, semua hal yang memerlukan pembayaran harus dipercepat pencairannya. Baik klaim rumah sakit, insentif tenaga medis, maupun petugas lab. ’’Kita nunggu apa lagi, anggarannya sudah ada,’’ lanjut Jokowi.
Sumber: Jawapos.com
Tulis Komentar