Porospro.com - Ketua Bawaslu Kota Dumai, Agustri, menekankan pentingnya peran Rukun Tetangga (RT) dalam menghindari dan mencegah praktik politik uang dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Dalam sosialisasinya, Agustri menjelaskan kepada para ketua RT bahwa praktik politik uang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga merusak proses demokrasi serta menciptakan konsekuensi buruk bagi pelaku dan penerimanya.
"Peran wajib RT dalam Pilkada ini adalah mencegah, menghindari, dan menjauhi yang namanya kegiatan politik uang," jelas Agustri dalam arahannya.
Agustri juga menekankan bahwa RT harus menjadi teladan dalam membangun kesadaran masyarakat agar tidak terlibat dalam politik uang. Menurutnya, keterlibatan RT dalam praktik tersebut hanya akan memperburuk situasi dan berisiko menjerat mereka dalam sanksi hukum.
"Kami berharap agar RT tidak menjadi pelaku dalam menyebarkan politik uang karena hal ini berbahaya, baik bagi dirinya maupun warga yang menerimanya," katanya. Ia mengingatkan bahwa pengawasan partisipatif yang aktif akan membuat Pilkada menjadi lebih jujur dan adil.
Dalam arahannya, Agustri mengutip ketentuan Pasal 73 ayat (4) UU Nomor 10 Tahun 2016, yang dengan tegas melarang siapapun memberikan imbalan berupa uang atau materi lainnya kepada pemilih.
Pasal ini berlaku tidak hanya bagi calon dan tim kampanye, tetapi juga bagi anggota partai politik, relawan, atau pihak manapun yang berusaha mempengaruhi pilihan pemilih.
"UU ini berlaku luas. Bukan hanya calon atau tim kampanye yang dilarang, tetapi semua pihak yang berusaha mempengaruhi pemilih dengan imbalan juga dikenakan larangan," tegasnya.
Lebih rinci, Agustri menjelaskan bahwa Pasal 73 ayat (4) melarang memberikan imbalan untuk tujuan-tujuan tertentu, seperti mendorong pemilih agar tidak menggunakan hak pilihnya, memengaruhi pemilih untuk memilih dengan cara yang mengakibatkan suara tidak sah, atau mengarahkan pemilih untuk memilih atau tidak memilih calon tertentu.
"Pelanggaran ini bukan hanya sekadar tindakan melawan hukum, tetapi juga merusak nilai demokrasi yang ingin kita bangun," ungkap Agustri.
Selain larangan, Agustri juga memaparkan ketentuan sanksi yang diatur dalam Pasal 187A UU Nomor 10 Tahun 2016. Setiap orang yang melakukan pelanggaran terkait politik uang diancam dengan pidana penjara minimal 36 bulan dan maksimal 72 bulan, serta denda mulai dari Rp200 juta hingga Rp1 miliar.
"Ancaman pidana ini bukan main-main. Jadi, saya harap semua pihak berpikir panjang sebelum terlibat dalam tindakan seperti ini," ujarnya.
Ketua Bawaslu ini juga mengingatkan bahwa sanksi ini tidak hanya berlaku bagi pemberi imbalan, tetapi juga bagi pemilih yang menerima uang atau janji sebagai imbalan untuk memengaruhi pilihan mereka.
"Pidana yang sama diterapkan kepada pemilih yang dengan sengaja menerima pemberian atau janji untuk mengarahkan pilihannya. Ini adalah bentuk perlindungan terhadap demokrasi kita," jelas Agustri.
Dengan ketentuan ini, diharapkan setiap pihak akan lebih berhati-hati dan menghargai proses Pilkada.
Dalam penutupnya, Agustri mengimbau para ketua RT dan masyarakat agar tidak mencari masalah dengan melibatkan diri dalam politik uang.
Menurutnya, tindakan seperti ini tidak mencerminkan kecerdasan dan justru merusak integritas pemilihan.
"Saya berharap kita semua tidak mencari masalah dengan cara yang tidak cerdas dan merusak ini. Jelas sekali dilarang dan ada sanksinya," tegasnya lagi.
Ia juga mengajak seluruh pihak untuk berpartisipasi dalam membangun pemahaman masyarakat agar tidak terjebak dalam iming-iming politik uang.
Menurut Agustri, partisipasi yang baik dari masyarakat dapat dimulai dengan mengedukasi warga untuk memilih dengan bijak.
"Mari kita berpartisipasi membangun dengan cara mencegah dan mencerahkan warga kita, bukan malah merusak," kata Agustri menutup arahannya.
Tulis Komentar